10. EPISODE LEBIH DEKAT

27 7 0
                                    

Semenjak kejadian malam saat di cafe, pertemanan dengan Naufal menjadi lebih dekat karena laki-laki itu sering mengajaknya berbicara ketika di dalam kelas atau terkadang bermain-main dengan Pran untuk diajak bercanda gurau bersamanya.

Memang benar, keakraban siswa akan lebih berharga ketika mendekati waktu perpisahan.

Dua bulan lagi masa-masa mereka sudah hampir usai. Dua bulan itu pula, Senja ingin menghabiskan waktunya bersama dengan teman kelasnya dan juga Naufal pencuri hatinya.

Perilaku kecil Naufal terhadapnya selalu membuat Senja senang bukan main. Sebagaimana Naufal sering kali meminjam pulpennya tanpa bersusah payah membentengi wajah datarnya.

Perhatian Senja selama ini teralihkan penuh untuk Naufal. Dulu Ia sering mencuri pandang ketika berada di dalam kelas, ia juga sering memperhatikan Naufal ketika tengah mempresentasikan hasil diskusi kelompok dengan lawan temannya sembari tersenyum kecil. Matanya juga tak bisa diam melihat sekeliling deretan ratusan siswa SMA GALAKSI ketika sedang apel pagi hanya untuk menemukan sosok Naufal.

Sekarang Senja tak perlu lagi berjinjit untuk melihat Naufal berdiri di baris depan, karena sekarang ia cukup menoleh ke kiri dan menemukan sosok Naufal di sampingnya.

Semua kebiasaan Naufal sejak satu tahun lebih tiga bulan Senja rekam dalam ingatannya. Naufal yang suka mengenakan jaket ketika sekolah, dan Senja juga akhir-akhir ini sering mengikuti kebiasaan tersebut secara diam-diam agar terlihat sama.

Senja sengaja menertawakan candaan Naufal kepada Pran agar diajak bercanda juga. Ia pun terkadang juga sering berlaku iseng pada mereka agar terus bisa berinteraksi dengan Naufal.

Tentu saja, satu hal yang membuat Senja senang bukan main adalah Naufal menanggapinya sesuai dengan harapan Senja. Seperti saat Senja dengan iseng melempar bola kertas kearah Naufal, dan Senja mendapatkan perhatiannya, lelaki itu mengambil dan melemparkan balik kearah Senja.

"Woiii amal woii amal."

Kehadiran Pran diantara mereka untuk menarik amal setiap jumat memecahkan kegiatan senang yang dilakukan Senja dan Naufal. Laki-laki itu membawa kotak amal dari masjid dan membawa satu rotan panjang disatu tangannya yang kosong.

"Kalo ga amal gue sumpahin masuk neraka." Pran menggoncangkan kotak amal di hadapan para teman sekelasnya membuat isi dalam kotak tersebut berbunyi gemericik.

"Lo narik infaq berasa narik utang deh, ngga sabaran banget." Dewi menyahut seraya mengeluarkan uang di dalam dompetnya, begitu pula yang lain mengikuti.

"Ada kembalinya ngga? Kalo ngga, ngga usah gue bayar. Lumayan dapet es teh di kantin," kata Jakfar memberikan uang yang nominalnya cukup besar.

"Gede amat duitnya, kek dosa lo. Bentar." Pran membuka kotak amal yang memang tidak dikunci guna mencari uang kembalian. "Yah, di sini anaknya pada medit-medit. Nih tukeran sama gue aja duitnya."

Pran mengeluarkan dompetnya dari saku celana, mengeluarkan sejumlah uang recehan bernilai sama seperti yang Jakfar miliki, lalu bertukar dengannya. Setelah semuanya udah, Pran kembali menarik uang anak-anak lain.

"Eh Nja, ada Pak Hendi, ada pak Hendi." Mara menepuk-nepuk cepat Senja dan Priska agar kembali ke tempat duduk begitu melihat pak Hendi lewat di jendela kelasnya.

Kedua gadis itu kembali ke tempat duduknya masing-masing. Guru itu sering melakukan sweeping dan memanggil anak laki-laki untuk segera pergi ke masjid guna mengikuti jumatan. Guru itu paling di segani diantara guru lainnya. Namun, seakan tidak peka dengan kehadiran sosok itu yang berdiri di ambang pintu kelas, Pran masih asik berdiri di atas meja dengan menggoyang-goyangkan tongkat rotannya kearah teman-teman.

"Woiii amalnya, woii amalny-"

"Prata, kenapa kamu berdiri di atas meja seperti monyet begitu?"

"Hah?" Mendengar namanya dipanggil, pemilik nama tersebut menoleh kebelakang dengan terkejut. Ia membelalak matanya menatap Pak Hendi selaku guru olahraga itu sudah berdiri di ambang pintu kelas dengan memandangnya sengit.

Pran buru-buru turun kebawah, disertai gelak tawa dari teman-teman kelasnya.

"Push up lima belas kali."

-o0o-

"Gimana kalo lo move on aja sama Naufal. Terus pindah ke Pranata. Dia kan lucu, orangnya juga humoris. Liat noh, emang ada ya orang yang sehabis dihukum malah seneng?"

Senja mencibirkan bibirnya. Memangnya Senja menyukai seseorang hanya asal pilih? Senja harus menemukan titik poin terpenting yang membuatnya tertarik pada seseorang.

Ia bertopang dagu melihat sekitar. Suasana free class saat menjelang sholat jumat tampak begitu ramai. Maka, ia memperhatikan satu persatu dari mereka. Tapi justru, matanya memutar malas.

Siapa yang bisa dibandingkan dengan seorang Naufal? Dia itu tampan, dan menarik. Bukan tanpa alasan Senja menyukai Naufal sejak satu tahun lebih. Bahkan dari namanya saja Senja sangat amat menyukainya, Naufal Putra Galaksi. Seperti nama yang ada di novel-novel yang sering ia baca.

"Woi Senja." Panggil seseorang dari pintu kelas.

Senja menegakkan tubuhnya dengan malas, ia menatap seseorang yang sedang berjalan kearah mejanya.

"Kenapa? Tumben lo kesini?" tanya Senja malas.

Saga Bramasta. Teman Senja dan Mara namun berbeda kelas. Mereka cukup akrab selama dua tahun ini, tetapi akhir-akhir ini Saga sering membolos sekolah dan menjadikan Senja lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman kelasnya.

"Baru juga gue tinggal sebentar udah jutek aja, kangen kan lo sama gue?" tanya Saga menggoda menaik-turunkan kedua alisnya.

Senja mengerut kening bergidik geli. "Dih, ngapain juga gue harus kangen sama lo? Ngga faedah banget."

Saga menepuk pelan lengan Senja. "Sialan lo."

Senja terkekeh pelan seraya menggelengkan kepala.

"Ayo ke kantin," ajak Saga kepada Senja.

Senja mengerutkan kening dalam. "Lah, lo ngga sholat jumat?"

Tetapi orang ditanya hanya diam. Sebelum lelaki itu menjawab, "ngga Senja."

Jawaban Saga membuat Senja memutar matanya malas. "Lo itu udah gede! Udah tau mana yang harus diprioritasin dulu. Apalagi kalo urusan ibadah!"

Saga tak hanya sekali dua kali mendengar ceramah dari Senja hanya menggaruk kepalanya. Pasalnya niat Senja memang baik tapi gadis itu salah konteks.

"Hehe ya gimana ya, kan gue belum masuk Islam," kata Saga.

Senja mengangguk-angguk mengerti dengan ucapan Saga, namun selang beberapa detik ia membelalak matanya. "Astaga! Gue lupa kalo lo nonis," ucap Senja meringis.

Senja itu memang pelupa! Bahkan sangat pelupa. Entah penyakit apa yang bersarang di otak kapasitas kecilnya itu. Bahkan ia pernah lupa meletakkan ponselnya, padahal ponselnya ada di tangannya sendiri.

Mara sampai kesal berkali-kali dengan sifat pelupanya Senja. Setiap Senja melupakan sesuatu, pasti yang menjadi pihak tersangka adalah dirinya.

"Udah ngga heran gue sama lo! Sebenernya mama lo ngasih makan apa sih, Nja? Lupa mulu deh perasaan.

Senja menjawab dengan cengengesan. "Maklum lah Ga. Namanya juga manusia."

Diary Untuk Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang