5. JATUH CINTA SENDIRIAN

38 16 10
                                    

Bahwasanya perihal jatuh cinta, manusia kerap mengembangkan kebiasaan untuk menanamkan perasaan kepada subjeknya. Semestinya, objektivitas pada suasana di sekeliling juga harus turut berlaku.

Berbicara tentang jatuh cinta, Senja kembali melakukannya. Ia selalu menerapkan pola pikir dimana bagian klimaksnya adalah ketika fall in love alone.

Meski begitu, entah bulan ke berapa di kalender saat takdir menggerakkan mereka begitu rupa alam semesta agar tatap mereka berdua bertemu.

"Aku menyukaimu, Naufal Putra Galaksi."

Itulah kalimat yang tidak bisa Senja ungkapkan.

Mencintai dalam diam ternyata menguras energi yang cukup besar. Sebenarnya Senja lelah dengan hal ini. Mungkin kisah mereka tidak ada ujungnya, tidak pula berakhir di buku yang sama.

Kisah asmara mungkin tidak mengerti mengapa Senja diberi scene yang tidak ia sukai. Mengapa Senja diberi konflik yang sedemikian rumit, dengan segala pergulatan hati yang melelahkan tiada ujung.

"Udah satu tahun lebih, dan lo masih belum nyatain perasaan?"

Senja meringis. "Gue ngga seberani itu kali, Ra. Cuma bilang, gue suka sama lo. Itu juga butuh effort, Ra."

Mara menghela nafas panjang. "Lo mau nunggu sampai kapan? Sedangkan sebentar lagi kita udah out dari sekolahan ini, alias lulus. Dan kemungkinan besar, lo ngga bakal punya waktu lagi buat ngurusin percintaan yang ngambang itu."

Di sekon sebelumnya, Senja kira jatuh cinta adalah hal yang mudah, seperti; dekat-jadian-lalu tahap serius. Seharusnya ini hal biasa, bukan perkara penting. Bukan hal-hal istimewa yang harus Senja jaga di kepala.

Senja terus dan selalu menanyakan arti kehadiran Naufal. Juga perasaannya yang terus mengambang tanpa tahu kapan jatuhnya. Hampir satu tahun lebih hatinya stuck pada sebuah rasa dimana antusiasnya berbatas pada nyalinya yang cupu. Antusias melihat wajah tampan milik Naufal, tapi kecupuan membatasinya untuk tersenyum lebar. Kecupuannya membatasi binar matanya agar tidak ketahuan kalau dia sedang jatuh cinta. Jadi, Senja mempertanyakan arti kehadiran Naufal. Apakah Senja benar sudah cukup hanya melihatnya dari jauh? Apakah Nafual hanya sebatas ‘cukup’ baginya?

"Gatau, Ra. Gue bingung. Di sisi lain, gue pengen nyatain perasaan. Tapi rumor-rumornya si Naufal udah punya cewek."

Mara yang mendengar pernyataan Senja membelalak terkejut. "Hah?! tau darimana lo?"

Senja melirik kearah Mara. "Dari Pran."

Mara terdiam begitupun dengan Senja. Mata Senja menerawang luasnya lapangan sekolah ini. Diam-diam mengamati sekeliling, harap-harap menunggu Naufal turun dari tangga.

Bahkan Senja sampai hapal, dijam berapa Naufal beranjak dari tempat duduknya menuju ke Masjid yang difasilitasi sekolah untuk beribadah.

Bagaimana Senja tidak jatuh hati? Selain parasnya yang tampan, Naufal juga memiliki akhlak yang baik. Tidak pernah sekalipun Senja melihat Naufal tidak pergi ke Masjid.

Bahkan teman-teman yang selalu bersamanya saja tidak pernah menginjakkan bangunan suci itu. Entah mungkin karena gengsi, atau emang tidak pernah beribadah.

Tepat jarum jam menunjukkan angka dua belas lewat lima belas menit dijam tangan Senja, Naufal turun dari arah tangga.

Tubuh miliknya yang tegap, dan jalannya yang menawan, entah bagaimana mendefinisikan sosok Naufal dimata orang yang tengah jatuh hati padanya. Jelas pasti, he is perfect.

"Sebegitu mengamatinya lo," ujar Mara yang lagi-lagi memergoki Senja menatap bayangan Naufal.

Senja menoleh kearah Mara sambil cengengesan. "Gue heran deh. Jaman sekarang kok masih ada ya cowok yang ngga malu gitu pergi ke Masjid. Sekarang kan banyak noh yang lebih suka menghabiskan waktunya buat main atau bolos ketimbang beribadah."

Mara menggeleng kepala. "Gue juga ngga tau sih. Tapi, kadang-kadang orang mau pergi ke Masjid itu karena gengsi, atau malu takut temennya bakal ceng-cengin."

Senja mengangkat bahu kemudian mengalihkan perhatiannya kearah Naufal yang kini semakin jauh dari jarak pandang.

"Udah. Dia ngga bakal ilang kali, lo mau sholat sekarang atau nanti?" tanya Mara.

Senja berpikir sejenak. "Emm... nanti aja deh, ayo kita ke kantin dulu."

-o0o-

"Tadi ada pengumuman kalo besok pagi semua angkatan kelas 12 ke lapangan sekolah, emang bener?"

Senja yang tengah menyeruput es kopi terhenti dan mengangguk. "Iya. Katanya sih perihal informasi terkait acara lulusan gitu."

"Oh iya, lo kan ikut jadi panita ya?" ucap Dewi tengah menyeruput es tehnya.

"Iyap."

Suara dentingan piring dan sendok beradu oleh bisingnya siswa-siswi yang tengah memesan makanan dari penjaga kantin.

"Eh, gue mau tanya, katanya lo suka sama si Naufal?"

Senja tersedak es kopinya. Satu titik minuman mengenai seragam sekolah milik Mara karena posisi dia yang berada di depan Senja.

Mara mengeram marah, tentu saja. Senja mengusap nodanya tapi malah semakin melebar.

"Oii, Senja." Priska menyela dari arah pintu kantin, "maaf, gue kesini mau ngasih proposal dari ketua panitia pelepasan kelas 12. Katanya, lo di suruh keruang TU buat foto copy itu berkas." Priska menyerahkan berkas kepada Senja dan berlalu pergi.

Dengan begitu, Senja sangat berterima kasih pada Priska yang menyelamatkannya (meski tekniksnya salah). Senja benar-benar gugup jika sudah membicarakan soal Naufal. Karena Senja menyukainya sudah lumayan lama, dan ia tak berani mengatakan secara gamblang.

"Ayo ke Masjid. Katanya lo mau sholat," sela Mara yang masih belum menghilangkan rasa kesalnya. Namun begitu, ia tidak pernah benar-benar marah pada Senja. Mungkin hanya kesal sebentar lalu ia akan melupakan kejadian tadi.

Senja mengangguk, mengalihkan pandangannya kearah Dewi. "Maaf ya, gue mau ke Masjid dulu."

Tanpa menunggu balasan dari Dewi, Senja langsung beranjak dari kantin, dan diikuti oleh Mara. Untung saja sebelum menghabiskan makanan siang, Senja sudah membayar tepat sebelum memesan makanan. Jadi tidak terlalu menonjolkan bahwa Senja sengaja menghindari pembicaraan Dewi.

Diary Untuk Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang