18. Serpihan Ingatan

913 70 4
                                    


"Mau ke mana kamu, Dek?" Kak Sandy melihat Raskal turun ke dapur dengan penampilan yang sudah rapi.

"Aku mau ke sekolah lagi buat latihan basket lagi, Kak."

"Kamu nggak lelah? Kemarin kamu udah latihan seharian?"

Raskal menggeleng lalu menegak minuman protein yang sudah disiapkan Ibu sebelum Raskal berangkat latihan.

"Aku harus berlatih supaya aku bisa terpilih menjadi pemain inti."

"Jangan kelelahan ya, Nak." Ibu mengingatkan sambil mengusap rambut Raskal penuh sayang.

"Iya. Apapun nanti hasilnya, aku tetap bangga sama kamu Dek."

Raskal tersenyum lirih, "tapi Ayah nggak akan bangga kalau aku nggak jadi pemain inti."

*****

"Kapan pemilihan tim inti di sekolahmu?"  Ayah membuka lembaran koran di genggamannya.

"Lusa, Ayah."

"Nggak latihan lagi, kamu? Bukankah jadi calon pemain inti harus sering latihan? Turnamen sudah ada di depan mata. Jangan malas-malasan."  Ayah tak mendongak, pandangannya masih membaca isi pemberitaan perekonomian negara yang sedang merosot.

"Kemarin Raskal sudah seharian berlatih kok, yah."

"Latihan lagi hari ini. Kalau perlu jadwal les mu harus ditambah. Tidak boleh bermalas-malasan!" 

Raskal menghela napas. "Baik, Ayah."

*****

"Ibu ninggalin kita, Kak." Air mata Raskal tidak berhenti luruh. Begitu juga Kak Sandy. Tapi sebagai seorang kakak, Kak Sandy harus kuat di depan sang adik.

Belum 24 jam Ibu meninggalkan mereka. Rasanya sepi. Mereka hanya berdua di kamar dan membiarkan rumah hangat mereka ramai oleh orang-orang yang berdatangan untuk menyampaikan rasa bela sungkawanya.

"Aku pasti akan kangen masakan Ibu." Raskal memeluk kakaknya erat. Berharap pelukannya dapat mengurangi rasa sesak di dadanya yang terus menghinggap.

"Aku juga," Kak Sandy mempererat pelukannya.

"Ibu ninggalin kita pas aku belum bisa banggain Ibu. Aku belum tunjukin medali turnamen ke Ibu. Padahal Ibu bilang mau lihat aku tanding nanti."

"Ibu akan selalu bangga sama kamu, Dek." Kak Sandy melonggarkan pelukan supaya bisa melihat wajah sembab Raskal.

"Benarkah?"

"Iya."

Raskal termenung kemudian, "aku akan buat Ibu semakin bangga sama aku."

"You can do it."

"Aku juga akan buat Ayah dan Kakak bangga sama aku."

Kak Sandy tersenyum, "I'll always do."

*****

Kak Sandy berlari kencang menyusuri koridor Rumah Sakit. Ia tidak peduli drngan langkahnya yang berisik. Yang terpenting ia tiba ke kamar inap yang diinfokan Ayah lalu menemui Ayah dan Raskal di sana.

"Yah, maaf aku baru sampai. Di jalan macet. Raskal gimana keadaannya?"

"Cacat." Wajah Ayah tampak tak bersahabat mengatakan kondisi Raskal yang sedang terbaring di dalam ruangan.

Secret Admirer IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang