Selepas mengerjakan tugas Bahasa Inggris yang diberi Ms. Jennifer, bokongku masih tertempel di bangku belajar. Tangan yang menumpu wajah, memandang ke pemandangan luar melalui transparan jendela, yang dirasa ialah pelampiasan dari penggalan sajak di antologi kitab Sapardi Djoko Damono yang kupinjam di perpustakaan tadi. Hujan Bulan Juni.
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembaliHelaan napas keluar lantaran bosan. Buku yang menjadi tempat sajak-sajak yang kutulis masih mengangkang. Belum diapa-apakan. Pensil dan penghapus masih menindih sela tengah buku itu.
Suasananya bagus. Sunyi dan damai. Yang ricuh hanya nyamuk yang mengamen ganggu di telinga dan rintik hujan berdansa antusias di luar sana. Namun aku belum mendapat gagasan mengenai kelanjutan sajak yang ditoreh saat di sekolah.
Dan begini sebait sajak yang sebenarnya jauh dari menakjubkan, ditulis olehku:
Candu, beribu ucap menyerbu
Padu; di diam bibir, di ramai benak
Ganggu, uring-uringan sejak dulu
Tunggu; mau kapan mulai berontak?Tegas dan ekspresif. Menumpahkan rasa yang dipendam melalui tulisan lantaran eksistensi diriku sebagai penakut. Terkadang, aku terpingkal akan diriku yang hanya bisa berani berselimut dalam sajak.
Tadinya, aku ingin membuatnya menjadi satu puisi penuh. Hanya saja, sekali lagi ideku belum melayang ke langit pikiran. Memang, kalau soal ide, munculnya cuma di saat-saat tertentu, tidak setiap waktu. Jujur saja, aku jengah akan hal itu karena aku bukanlah sosok penyabar.
Dan jengah itu pula terjadi karena sesuatu—tidak, seseorang memperkeruh langit pikiran dengan caranya yang terlampau biasa. Kak Marine.
Sayang sekali, harusnya aku tidak ceroboh sampai terjatuh saat bergegas keluar sekolah. Dan pertemuan dengannya tidak akan terjadi.
Kenapa aku kukuh enggan menjumpainya lagi? Karena aku memiliki duniaku sendiri dan dia pun begitu. Dunia kami berbeda. Aku tidak mau Kak Marine masuk ke duniaku yang penuh kubangan sampah dan lumpur serta gelap. Bahkan sekelebat bayangannya saja yang masuk, aku akan menolak, walaupun pada akhirnya tak mampu.
Dunianya itu ... dipenuhi oleh sanjungan akan orang-orang. Bunga-bunga yang harum mengelilingi, siap menjadi tempat singgahnya. Cahaya mentari yang sedia menyinari dengan cukup. Seolah-olah dialah sang kupu-kupu yang paling indah.
Di kehidupan nyata, dia pun dijuluki sebagai kupu-kupu secara sosial. Dia pandai berbaur, menghangatkan situasi dengan senyum dan tawanya yang anggun. Aku masih mengingatnya kala namanya dikenal di berbagai kalangan di SMP; adik kelas, kakak kelas, seangkatan, guru-guru, dan bahkan sampai ke buah mulut staf kebersihan dan keamanan. Barangkali, kehadirannya di SMA saat ini bakal mengundang banyak perhatian sama atau lebih dari yang dulu.
"Hah, astaga ..."
Kenapa aku jadi makin memikirkannya? Tidak beres. Aku mengusak-usak kasar rambut yang dikuncir kuda. Lalu, didaratkan kepala di atas buku yang telentang di meja belajar.
"Pusing banget ..."
"Kenapa kamu harus dateng lagi?" Aku cemberut sembari meletakkan kepala di atas tangan yang dilipat di meja.
Mataku yang memandang malas ke depan, dibuat lebih membulat tatkala di tengah hujan menyerang permukaan kering di luar, seekor kupu-kupu melintas di antaranya. Indah, biru muda. Mencolok di tengah kegelapan malam.
Dan serangga biru muda itu berhenti persis di hadapanku, yang cuma terhalang jendela. Aku menatapnya lebih lekat dan keheranan. Bagaimana bisa kupu-kupu itu kuat untuk terbang di kala intensitas hujan lumayan tinggi? Untuk apa dia terbang malam-malam begini? Setahuku, kupu-kupu itu bukan nokturnal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...