15. Hadiah Kecil

117 28 6
                                    

Kehidupanku begitu monoton, sama seperti remaja pada umumnya. Belajar, menggeluti hobi, pergi bersenang-senang dengan teman-teman. Kisah cintaku bahkan tidak ada yang membuat orang-orang takjub. Kurang dari lima laki-laki pernah menjalin hubungan romansa denganku yang aku anggap sebagai pemanis semata.

Namun, sejak aku memasuki SMA itu karena kontrak Ayah bekerja di suatu kota di Sulawesi Selatan berakhir terlalu cepat, aku menemukan sesuatu yang menarik bagiku. Yang menimbulkan satu pertanyaan yang tumbuh menjalar jadi banyak cuma disebabkan oleh satu orang.

Kacamata berbingkai kotak hitam, selalu menenteng alat tulis di genggamannya, dan gemar melabuhkan langkahnya hanya untuk dua tempat; perpustakaan dan taman belakang sekolah.

Aska atau Hanita. Harus apa aku memanggilnya sekarang? Kenapa Bu Wenda memanggilnya Aska? Kenapa Gina tak menyadari kalau itu adik kelas kami waktu SMP? Tuh, 'kan. Menyebut namanya saja membuatku pusing.

Rentetan pertanyaan itu seakan muncul seiring aku menemui sosok gadis berbadan mungil ini lebih jauh. Dipicu lagi, kejadian tak pantas disebutkan yang kualami. Dia seperti gudang yang menyimpan banyak barang penting yang terkunci kokoh. Mengetahui banyak peristiwa tetapi tak pernah dijabarkan.

Aku bercermin untuk memastikan riasan dan tata pakaian nampak cocok dan nyaman untuk bepergian dengannya. Aku lekas menuju luar kamar dan menutup pintu. Berniat melangkah ke lantai bawah, tetapi aku menemukan adikku yang terkejut dengan keadaanku yang rapi.

"Mau ke mana, Kak?" katanya. Tingginya bahkan melebihiku ketika dia mendekat.

"Ke mana aja kek, bebas."

Mukanya berubah masam. Aku terkekeh meledek, "Iya-iya, entar pulang dibeliin pizza yang panjang kayak liwetan itu, kok. Lagian ini karena Ayah yang mau, Gracia."

"Gue gak serakus itu, tolong?!" Dia jengah dan pergi menetap di kamarku. Sudah lama begini. Alasannya sih, kasur lebih empuk untuk makin menimbulkan rasa santai dan malas. Padahal, kamarku lebih sempit darinya dan kasur miliknya juga sama-sama nyaman.

"Ya, ya, ya." Gracia asik sekali untuk digoda, senyuman lebar muncul karena puas.

Turun ke lantai bawah, aku menjumpai Ayah di ruang keluarga. Menyesap kopi dan beberapa biskuit di meja yang telah disiapkan pembantu kami sebagai camilan wajib khusus Ayah. Memegang ponsel dengan jarak yang sangat jauh hingga aku bisa mengintip apa yang Ayah lihat di sana. Paling baca berita aneh dari grup Facebook, lalu disebar ke grup WhatsApp keluarga.

"Bunda mana?" tanyaku celingak-celinguk.

"Kumpul alumni SMP," jawab Ayah singkat sebelum melirik penampilanku dari atas sampai bawah.

"Mau main sama adek kelasmu itu, 'kan?"

Aku mengangguk membenarkan. "Lagian, Ayah bilang waktu itu, ajak dia jalan-jalan sama beliin apa yang dia mau sebagai tanda terima kasih Ayah."

Senyuman Ayah itu selalu sederhana. Namun, aku menghangat setiap kali beliau melakukannya. "Ya udah, hati-hati, ya, Marine. Titip salam buat adek kelasmu, siapa sih namanya? Ayah lupa."

Aku berpikir sejenak selagi meletakkan kening pada punggung tangan Ayah sebagai cara berpamitan. Hanita atau Aska, ya? Kenapa juga dia tidak memberitahu namanya sendiri sehabis dari pertemuan yang tak dikehendaki itu?

"Hanita."

×××××

Aku menuruni mobil yang dikendarai oleh supir pribadi yang sudah mengabdi pada keluarga kami sejak lama, Kang Entis.

"Makasih, ya, Kang."

Kang Entis hanya membalas senyuman, lalu pergi meninggalkanku. Aku menunggu gadis itu untuk beberapa menit seraya memainkan ponsel. Biar tidak bosan-bosan amat.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang