14. Kesaksian dan Hukuman

122 32 0
                                    

note:
hi high? 2,4k words. awas pusing. ribut aja kudu dua bulan lebih kelarnya, hadeu ...

×××××

Kelas 5 SD, aku masih belum bisa bersikap bertahan dari segalanya dengan tabah. Itu masih mula perundungan yang kualami selama mengenyam bangku pendidikan. Alasannya begitu buram, main-main, bercanda. Ya, hal-hal semacam itu lebih kurang.

"Jauh-jauh dari Hanita, soalnya dia orang gila!"

"YAHAHAHA!"

Setelah itu, banyak yang tepuk tangan dan menyoraki melingkari aku. Semuanya laki-laki. Aku tak terima diperlakukan seperti orang bodoh. Aku menunduk, buku jemari mengepal, dan dada kembang kempis. Maka dari itu, aku menarik salah satu kaki teman laki-laki dan membuatnya terpeleset, dengan kepala yang jatuh lebih dahulu ke atas lantai.

Dug!

Semuanya terdiam. Mereka menyaksikan salah satu dari mereka terkapar dengan darah muncrat dari kepala dan punggungnya. Aku sendiri pun menatap pada jari-jari ini, sungkan percaya. Bagaimana bisa?

"Monster. Jangan deket-deket sama monster." Murid laki-laki yang berbadan gemuk itu menyahut pelan.

Mereka menjauh. Sementara, para siswi yang tak jauh dari tempat kejadian berbisik-bisik ribut. Memandangiku takut dan sinis. Air mataku mengalir dari pipi, kututupi mukaku karena tak kuasa menunjukkan kehadiran diri setelah mencelakakan orang.

Keadaan lebih buruk. Sepertinya ada di antara sekelompok murid laki-laki yang melaporkannya pada wali kelas. Wali kelasku melihat tak senang padaku yang duduk tergeletak mengenaskan.

"Hanita, ke ruang kepsek sekarang. Bapak panggil orangtua kamu."

Endingnya bisa ditebak. Aku ditanyai ini-itu dan dinasehati agar tak mengulangi perbuatanku lagi. Untuk keesokannya sampai seminggu kemudian, aku dirumahkan sebagai hukuman atas ulahku.

"Mamak ngesekolahin kamu biar jadi orang pinter, orang bener. Bukan celakain anak orang!"

Aku diceramahi berjam-jam oleh Mamak. Bapak yang kebetulan pulang ke rumah, turut berpartisipasi menyirami beberapa petuah tentang kesabaran.  Penyesalan menghampiri di dada. Kalau saja, aku bisa lebih kuat menahan emosi. Kalau saja, aku mengabaikan segala ejekan tak bermutu. Kalau saja, aku bisa berlapang hati atas semua perkataan rendahan yang menghujam.

Kebanyakan berandai-andai, aku terlelap dengan asinnya air menggenang di pelupuk mata.

×××××

Bruk!

Aku meringis, menahan sakit pada sekujur tubuh saat dibanting ke dinding lalu jatuh ke lantai. Kacamataku juga terbanting keras, hingga aku tak tahu jatuh di mana.

Ridwan menghampiri, menatap remeh dari atas. "Jangan coba-coba jadi sok pahlawan, deh, kalo akhirnya juga tetep sama. Lo tetep jadi monster lonte murahan."

Aku menatap Ridwan dengan kemarahan yang menggunung. Dayaku menguras, tetapi aku tak boleh menyerah. Di sini, aku harus menyerang. Kali ini, bukan untuk diriku sendiri. Namun, untuknya, yang memang pantas dihindari dari bajingan seperti Ridwan.

"Oh, dan lo, Kak. Lo cuma bisa apa di situ?" Ridwan melirik Kak Marine, sangat hina, seperti objek buangan.

"Lo cuma lonte sok jual mahal dan gak tau diri." Laki-laki menunjuk pada Kak Marine. Gadis cantik itu menunduk, bahunya bergetar.

"Jaga omongan lo, Bangsat!" Aku tak terima gadis sebaik itu direndahkan secara verbal.

Ridwan menjambak rambutku yang tak begitu panjang yang dikuncir kuda. "Hanita, Hanita. Kenapa lo demen banget ikut campur urusan orang? Begini 'kan jadinya." Ridwan terkekeh geli.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang