Hari ini adalah final dari Penilaian Tengah Semester yang sudah berlangsung sejak Senin lalu. Bahkan sudah melewati tuntas finalnya. Tinggal memberesi peralatan tulis dan pulang.
"Gue gak pernah liat lo dijemput," sahut Hanum saat kami berjalan berdua menyusuri lobi sekolah.
"Gue jalan kaki."
"Deket?"
"Lumayan."
Sejak kejadian itu, aku dan Hanum makin lengket. Entah terkadang siapa yang mendekati dulu, kami berbicara lebih sering. Walau itu masih mengenai pelajaran. Tidak ada hal pribadi dalam perbincangan kami, kecuali saat Hanum menginterogasi dengan tatapan kucing garong tentang apakah aku mengetahui hubungannya dengan Dian.
Awalnya aku menjawab tidak, tetapi Hanum seolah bisa mengendus kebohonganku, dia menikam dengan frekuensi pertanyaan terlalu banyak. Karena aku enggan memperpanjang, pada akhirnya jawabanku meluncur dengan jujur. Iya.
"Gue harap lo gak bocor. Karena kalo sampe orang-orang tahu, gue cincang urat nadi lo."
Aku menengguk ludah lantaran nada bicaranya makin menekan. Aku mengangguk cukup ketakutan.
Salah sendiri, kenapa mereka berbicara cukup kencang hingga aku bisa mendengarnya. Ini bukan keinginanku pula untuk tahu hubungan romansa antar gadis seperti mereka.
Yang aku ingin tahu untuk sekarang adalah perasaan yang naik turun tak tentu, seolah permainan jungkat-jungkit yang dulu sering kumainkan waktu kecil, pada Kak Marine. Mengakui atau terus menghindari, apa kemungkinan yang terjadi kalau aku memilih salah satu.
Aku sadar, kalau perasaan yang pernah mampir untuk Kak Marine waktu SMP kembali datang. Kian dekat, kian merapat. Sehingga hati dan logika tak lagi dapat membedakan.
"Hanum!" Suara itu memanggil. Dian berlari dan memeluk Hanum erat.
Hanum sedikit terkejut, lalu membiarkan kekasihnya berada di pelukannya untuk sesaat.
"Oh, ada Hanita juga. Halo!" Dian melepas pelukan dan tersenyum senang.
"Hai."
Lantaran Hanum adalah kekasih Dian, lambat laun aku mengakrabkan diri dengannya. Meski masih jauh lebih canggung dibandingkan dengan Hanum.
"Kalian berdua, gimana tadi? Gampang?" Dian bertanya.
"Lumayan," jawab Hanum dan aku serempak.
Dian memandangi kami berdua lalu tertawa sendiri. "Aku baru ngeh, you two don't look like classmates. But seem like twin if people see you for very first time."
Barangkali faktor Dian adalah seorang blasteran Australia, jadi aksennya terdengar kentara. Oh, bahkan ketika berbicara dalam bahasa Indonesia saja masih kental dengan logat bulenya.
Aku dan Hanum lantas menengok satu sama lain dan berpaling dengan cepat.
"Hihihi, you two are so cute. I don't mind if you are joining with Hanum, Hanita."
"Maksudnya?" Aku tak paham.
"Kamu sama Hanum, as my lovers."
Plak!
Hanum memukul punggung Dian keras. "Dodol! Malah ngajak threesome!"
"Kan lain dibandingkan sama yang lain, Babe." Dian mengelus punggungnya seraya meringis.
Aku menatap merinding sama kedua sejoli itu. "Ogah, Di. Gue males kalo ujung-ujungnya kepala gue ditempeleng pake bangku sama Hanum." Bergantian melirik ledek Hanum dan terkekeh geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...