19. Kisah Tersembunyi

74 21 0
                                    

note:
2,7 ribu kata. moga kuat, yah ... dan less interaction Hanita-Marine.

×××××

Aku ini bukan anak yang suka minta ini-itu. Tidak pernah. Kecuali untuk minggu ini. Tepatnya, agar aku setidaknya bisa menjangkau kumpulan cerpen Kak Chandra yang promosi terbit pertamanya pada hari Sabtu di mal pusat kota.

"Hanita janji, deh, bakal gak jajan dulu selama dua pekan ke depan."

Awal-awal, ditolak keras sama Mamak. Namun, aku menggenapkannya jadi sebulan. Mamak luluh.

"Awas, ya, kalo boong. Tidur di kebon tetangga sana!"

Memang hobi sekali wanita semi-lansia ini dalam mengancam. Mengerikan. Namanya juga nasib hidup dengan isu ekonomi keluarga. Memang salahku, sih. Namun ini kesempatan emas bagiku. Soalnya khusus edisi acara promosi penerbitan pertama, diskonnya lumayan menggiurkan. Ada door prize dan cinderamata. Mana bisa aku tidak bergembira atas itu semua?

"Kayak lo bakal dapet aja," nyinyir Mbak Yulia.

"Hokiku gede, santai." Dengan bangga, aku menyeringai pada bualan yang baru saja kukatakan.

"Pede boleh, ngibul jangan."

Jujur, Mbak Yulia tidak sepenuhnya mengejek. Lebih menamparku dengan fakta-fakta yang terjadi. Ditindas, lah. Kena hukum dari sekolah, lah. Dituntut jadi ranking paling atas, lah. Percintaan acak kadut, lah. Dapat orang tua dari hasil perjodohan yang jauh dari kata damai, lah. Finansial famili sekarat, lah. Dikasih keponakan jelmaan tuyul Depok, lah. Ada kakak yang gemar mengomentari urusan orang lain juga termasuk, lah!

Sudah, ah. Jelek sekali aku membeberkan begitu banyak kenyataan. Jatuhnya seperti aku tidak tahu caranya bersyukur. Padahal aku masih bisa mengambil sisi positif dari apa-apa yang telah mampir dalam hidupku. Yang kalau kata orang-orang dari waktu ke waktu; setidaknya dapat hikmahnya.

Menyelonong keluar dari kamar, aku memilih untuk mengabaikan Mbak Yulia. Makin diladeni, makin merasa menang si homo sapiens satu ini.

Tas selempang cokelat kulit, luaran di atas siku berwarna merah marun agak menerawang, dalaman putih polos, dan bawahan celana jins. Menu pakaian yang simpel tetapi tidak memalukan sekurang-kurangnya, meski dari atas sampai bawah merupakan harta turun-temurun dari dua kakak perempuanku. Jika berdasarkan sabda Mamak, buat apa beli baju baru kalau yang lama masih bisa dipakai.

Baiklah, saatnya berangkat. Buku incaran siap-siap di genggaman.

×××××

Bus kota lanjut bergerak setelah menurunkan beberapa penumpang, tidak terkecuali aku. Sudah bisa kulihat gedung berukuran super besar yang dijadikan mal pusat kota. Tempat di mana acara promosi penerbitan buku kumpulan cerpen milik Kak Chandra berlangsung. Dimulainya dari jam setengah sepuluh. Sedangkan aku berangkat sudah dari jam delapan tepat. Semoga masih tidak terlalu ramai.

Aku menyeberangi jalanan dan berjalan masuk menuju pintu utama mal. Akan tetapi, ada keraguan yang melanda mengenai di lantai berapa perilisan itu dilaksanakan. Itu sebabnya, aku bertanya pada penjaga keamanan.

"Pak, ini tempat promosi penerbitan cerpen di mana, ya?"

"Oh, di lantai dua, Neng. Di tengah-tengah."

"Makasih, ya, Pak."

Menaiki eskalator, ada banyak pemandangan yang menyatu dalam penglihatanku. Gerombolan manusia dari berbagai umur, iklan dinding, tempat-tempat perdagangan dan restoran. Seiring eskalator membawaku naik ke lantai dua, aku mendengar gaung tes mikrofon dari pengeras suara di tengah-tengah sana. Sesuai keterangan dari petugas keamanan tadi.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang