Belakangan ini, matahari selalu menyinari lebih terang dari yang dulu-dulu. Sampai-sampai menyusup ke dalam dada, lalu menjalar ke sudut bibir. Membuahkan senyuman dan tawa yang tak pernah bertahan lebih lama dari sekarang. Simpelnya, aku lebih gembira.
Rutinitas liburan kenaikan kelas tak begitu monoton. Karena beberapa di antaranya adalah kegiatan baru. Seperti ngobrol ringan bersama Kak Chandra melalui aplikasi perpesanan; Entah itu tentang proses penulisan buku selanjutnya. Berbagai novel dan antologi puisi yang telah dibaca, baik dari dalam negeri dan terjemahan dari luar. Serta yang terakhir, sampai memenuhi notifikasi ialah membahas kekasihnya. Dari yang hanya segi mengagumi sampai mengarah ke hal-hal dewasa. Tidak sadarkah kalau pria ini berbincang dengan remaja pubertas yang masih berusia 16 tahun?
Meski demikian, aku pun membahas apa saja yang telah kulalui meski tak benar-benar mendetail. Seperti menyelamatkan orang yang kusukai dari bahaya yang berujung diajak jalan-jalan berdua.
Keren banget! Kayak kencan. Yah, walaupun .... gak ada kepastian.
Katanya ketika aku bercerita mengenai itu. Aku sudah kenyang memakan angin yang tak pernah berubah menjadi angan yang terwujud. Namun ketika orang lain mengatakan, terutama Kak Chandra, aku ingin melempar ponselku ke mukanya kalau bisa.
Di samping kekesalanku yang kadang memuncak kalau saling berpesan dengan Kak Chandra, tak dipungkiri kalau pria dengan kufur tinggi badan itu benar-benar seperti Abang. Figur yang tak kupunya karena kakak-kakakku semuanya perempuan. Terhadap Kak Yuma dan Kak Yulia, aku tak pernah begitu terbuka. Agak aneh rasanya kalau merasa asing dengan bagian dari keluarga sendiri.
Selain dengan Kak Chandra, aku bercakap-cakap dengan Hanum dan Dian di grup. Tak banyak yang bisa kubicarakan atau kutanggapi, soalnya kebanyakan mesra-mesraan dari Dian yang menggoda Hanum habis-habisan. Atau, keributan yang bahkan merepotkan aku juga. Seringkali aku memperingatkan agar urusan asmara mereka disimpan dalam pesan pribadi saja. Namun, pada dasarnya sepasang kekasih itu kepala batu. Malahan aku yang diledek.
Makanya cari gandengan sana! Sirik aja jomblo dari lahir.
Kalo gak ada, aku sih bersedia ^_^
Excuse me?!
Sialan. Kenapa aku dikelilingi para pasangan homoseksual sedangkan aku di sini sendirian?! Tidak Kak Chandra yang memuji pacarnya begini-begitu, tidak juga Hanum dan Dian yang menempel seperti magnet. Mereka menyebalkan. Walau begitu, merekalah yang mengisi kesepianku yang dari dulu sudah melekat. Bukan khayalan, bukan juga cicak, nyamuk, atau bahkan lalat. Benar-benar manusia.
Hanita kali ini benar-benar menjadi manusiawi. Aku ... masih tak sepenuhnya paham untuk hal ini. Namun, aku tahu ini hal yang baik.
Dan gandengan? Bahkan aku dengan Kak Marine juga lebih sering bergandengan. Meski dia selalu biasa-biasa saja. Kak Marine selalu melihatku sebagai ... adik kelas kesayangannya. Begitu yang bisa disimpulkan dariku.
Apa aku keberatan? Tidak. Tidak perlu aku merasa begitu. Makin dekat dengannya saja aku bersyukur.
Kecuali yang satu ini. Seperti sekarang, aku menatap refleksi di dalam cermin. Potongan rambut ini terlalu pendek. Aku jelek sekali.
Semuanya karena kejadian itu. Mamak memintaku untuk memotong rambut. Repot, katanya. Apalagi kalau diikat terus-terusan, nanti merasa pusing. Pikirku, aku hebat juga bisa bertahan untuk tak memotong rambut selama beberapa tahun ini.
"Nunduk! Wong ko susah dibilangin!" Padahal aku dari tadi sudah menuruti perintahnya.
Di tengah riuh mulut Mamak yang memotong rambutku, tiba-tiba Asha datang dengan tangisan tujuh oktaf. Sudah begitu, menarik-narik daster yang dikenakan Mamah berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...