2O. Perkara Nama

96 24 0
                                    

Payah. Gina tidak masuk hari ini. Padahal masih suasana baru aktif masa KBM. Lewat pesan, gadis berambut pendek yang merupakan teman dekatku dari semasa SMP bilang bahwa mendadak dia tidak enak badan.

Seketika, kemampuanku tidak terlalu leluasa dalam berbicara. Kalau bisa, paling bila ada yang memulai lebih dulu, dan topiknya selalu laki-laki Korea yang selalu kujadikan sebagai para suami, dalam imajinasiku tentunya.

"Eh, Rin, Wonwoo cakep juga, ya. Oleng dikit, nih, gue," ujar salah satu teman yang ada di depanku, Elizabeth.

"Eh, Seungcheol juga auranya sangat mengayomi. Apalagi liat update-an doi yang baru, behhh, suami gue itu," balasku yang mengundang dongkol darinya.

"Mau, mau. Ngomong gampang banget kayak ngidam bakwan, udah gitu main gatekeep suami orang," gerutunya. Aku terkikik senang.

"Tapi, ya, Wonwoo tuh kayak cool yet warming nerd banget, gak, sih? Jadi dilema, nih, gue. Boy masuk tipe gue juga," tuturnya lebih lengkap.

"Gitu aja terus, Liz. Tiap liat cowok ganteng, langsung bilang 'tipe gue nih'. Hadeuu ..."

"Di kamar mandi cewek lantai dua ada kaca, loh, Rin."

Aku tak membalas lebih jauh obrolan dengan Liz karena ingin membawa jauh fokusku pada buku novel yang baru kubeli lusa yang lalu. Laut Bercerita karyanya Leila S. Chudori. Tengah marak dibaca. Kalau dilihat dari sinopsis, isinya tentang kehidupan aktivis 98 yang dihilangkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Kerinduan dan pertanyaan yang terus berulang. Ke mana mereka pergi dan tiada. Kapan mereka bisa mengantarkan ketiadaan anak-anaknya dengan baik. Diselipi kisah romansa yang terkesan lumayan seksual.

"Seru gak sih? Lo serius banget bacanya," tanya Liz yang berbinar-binar halaman-halaman kecokelatan yang habis kutelusuri.

"Baru seperempat. Awalnya, sih, bosenin, tapi ini mulai seru. Nguras tenaga, anjir. Alur bolak-balik, mood baca juga ombang-ambing, romance sebagai pendukung aja. Ini, 'kan, tentang politik 90 an akhir yang kacau balau dan para aktivis yang bertindak malah dilumpuhin," ulasku yang ditutupi dengan helaan napas.

"Bukan tipe lo pastinya. Karena, 'kan, tipe lo yang adaptasi dari au, udah gitu chara cokipop. More or mostly romance," sambungku yang mendapat cengir tak berdosa dari Liz.

"Tau aje." Tak lama, Liz bersungut, "Eh, tapi bukannya lo juga doyan, bahkan pinjem ke gue, ya, anjir."

Aku menyanggah, "Ya, gue eksplor tipe bacaan. Gumoh anjir baca romance terus. Baca-baca doang, gak kejadian di kenyataan."

Pemudi berlesung pipi ini mendorong keningku. "Gimana mau kejadian, lo aja diajak romance ogah-ogahan. Tapi, ya, bagus-bagus. Ternyata bergaul sama tu dekel ada sisi positifnya."

Bahuku naik karena Liz menyebutkan Hanita secara tidak langsung. Alis hampir menyatu. "Oh, jadi selama ini gue yang sisi negatifnya gitu? Sana aja lo, mimpin kerajaan Inggris."

Satu hal yang sangat mengganggu dari gadis ini adalah tawanya. Terlalu heboh. Sudah menggebuk meja, memekakkan rungu. Tabiat tidak seanggun namanya. Cukup mengenaskan.

"Ya, bagus, dong! Saling melengkapi berarti kalian."

Terlalu suntuk dengan barisan-barisan kata dari Leila S. Chudori, membuat pikiran ambigu. Saling melengkapi, kesannya seperti kami teramat dekat dalam suatu hubungan. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sudah tak beres ini.

Memang, aku masih membiarkan halaman-halaman buku itu mengangkang. Hanita dan novel Laut Bercerita. Merasa asing, benakku memanggil waktu yang telah berlalu. Oh, lusa! Dia, 'kan, ingin mengetahui ulasan apa yang aku berikan ketika membaca novel yang kover depannya dominan gambar pedalaman laut dengan kaki manusia diborgol di pojok kiri.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang