Hanya butuh satu dua kalimat lagi yang perlu dibaca untuk menamatkan Laut Bercerita milik Leila S. Chudori. Namun, pintu yang berderit membuka memupuskan atensi baca sejenak. Kutengok, ah, tahunya Gracia. Menampakkan wajah datar dan badannya yang terlampau tinggi main menubruk di atas kasur. Aku bergeser sedikit untuk kembali memfokuskan mata pada sisanya yang belum dijelajahi di novel tersebut.
"Dari kemaren, kayaknya asik banget bacanya. Liat, dong!"
Mengulum kedua bibir seraya menghela. "Nih, kayak lo rajin baca aja. Literasi waktu lo ikut AKM aja cap cip cup," sindirku dalam pemberian novel Laut Bercerita padanya.
"Kayak gak ikhlas banget, lo, Kak," gerutunya yang masih dalam keadaan telungkup bermalas-malasan.
Aku tahu, sehabis ini akan sangat susah untuk mengusir adikku yang seenak jidat menetap di kamarku. Maka, aku berjalan keluar, tak lupa menutup pintu.
Penasaran tak ada dalam benakku saat ini. Mengenai Ayah dan Bunda, apa saja yang mereka lakukan. Paling-paling, bercengkerama bersama sembari menonton acara televisi. Atau, secara terpisah; seperti Ayah yang gemar menggulir laman Facebook dan Bunda yang sangat suka dengan ketenangan angin malam yang menyerang wajah yang sudah muncul beberapa kerutan.
Kehidupanku di keluarga ini selalu harmonis, kalau kata orang. Finansial mencukupi, tak ada cekcok yang membuat suasana darurat, serta selalu bebas. Walau justru menurutku, itu sangat monoton. Tidak bersyukur atau bosan hidup enak, mungkin itu yang akan mereka lontarkan jika aku mengutarakannya.
Kaki menuju ke arah luar, dan punggung seorang wanita sudah tersaji dari jarak yang makin dekat. Dugaanku benar. Bunda di situ, ke tempat yang akan aku kunjungi untuk puluhan menit kemudian.
"Loh, Marine. Digusur Gracia lagi, ya?" Senyum keibuannya mendatangkan sensasi sejuk, sama seperti deru langit gelap.
Aku hanya membalas seringai enteng. "Yah, kayak biasa, Bun."
Mengikuti tatapan Bunda ke arah jauhnya atap alami milik Tuhan, tidak ada yang berbicara. Memandangi bulan yang menjadi pajangan gantung, di bawah ratusan kilometer ada barisan rumah, gedung tinggi, berbagai jenis kendaraan berlalu lalang, dan manusia-manusia yang seketika jadi semut di dalam penglihatan kami. Sudah sejak lama, aku paham kenapa Bunda sangat suka berada di sini. Ketenangan dalam perenungan duniawi. Hal yang begitu hanya bisa dilaksanakan di tempat ini.
Wajah memang masih lurus ke depan, tetapi arah bola mata menangkap Bunda yang melihat profilku dari bawah ke atas. "Gimana sekolah? Baik?"
Aku mengangguk. "Baik."
Napas yang dikeluarkan terdengar ditampung sebelumnya begitu dalam di dada. "Syukurlah."
"Bunda khawatir?" Aku menebak dengan pola bicara layaknya pembawa berita, datar.
"Ya, seperti orang tua pada umumnya, Rin. Apalagi ... waktu itu ..."
Mataku melotot saat sepasang kata akhir yang diucapkan dengan parau dan kerisauan. Aku tahu makna dari waktu itu, pada sebelum subuh di hari akhir perkemahan, kejadian tak mengenakkan dengan junior laki-laki yang tak kutemui lagi untungnya. Menenangkan diri agar Bunda bisa membaur akrab dengan hawa malam lagi. "Gapapa. Aku beneran gapapa. Orang itu udah dapet ganjarannya."
Senyumnya terbit kembali meski simpul dan sederhana. Giliran aku bertanya balik, "Bunda gimana?"
"Ya ... gak ada yang berbeda, Rin. Ya, nyiram tanaman, masak, bersih-bersih bantuin mereka meski gak banyak."
Mereka, dalam kosa kata keluarga kami adalah pembantu. Di rumah ini, ada tiga sosok luar yang membantu terkait kebersihan dan kenyamanan rumah.
"Kamu udah mulai paskib?" Bunda bertanya untuk memantik topik baru. Biar tali kekeluargaan di antara kami terus mengerat dan tidak ada canggung yang membuat kendur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanficTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...