Kedua kipas angin berputar dan berbelok kanan kiri arahnya dengan bunyi yang cukup kentara, tetapi tidak dapat menutupi suara Bu Nini yang berbicara lembut pada kami berempat. Aku, Mar—ah maksudku Kak Marine, Kak Gina, dan satu murid laki-laki yang tak begitu kenal. Mungkin itu kakak kelas?
Huh, gadis-gadis yang berada di samping kananku, aku merasa sebelumnya aku ini kurang sopan. Memanggil tanpa embel-embel 'Kak' lantaran sebelumnya aku mana tahu kalau Kak Marine dan Kak Gina itu kakak kelasku sampai tadi Bu Nini mengabsen kami berempat disertai kelas masing-masing. Jadi malu sendiri.
"Hanita?"
"I-iya, Bu?" Aku terkesiap dan mendongak pada Bu Nini yang memanggil.
Bu Nini mendengkus lalu sedikit tertawa. "Bengong aja kamu. Inget gak tadi Ibu bilang apa?"
Aku membetulkan letak kacamata yang mengendur dari batang hidung. "Hmm, s-saya akan mengikuti lomba mewakili sekolah membaca puisi tingkat kota dengan tema: 'Kembalikan Gairah Sastra pada Kalangan Muda' dan itu bersama ..." Kalimat menggantung seiring tengokan pada arah Kak Marine yang persis di samping. Sedangkan gadis itu, sedikit membuang muka lantaran bisa jadi masih canggung ketika kejadian di depan sekolah.
"Kak Marine." Ludah diteguk lega selepas mengucapkan nama itu.
Berniat menjelaskan lebih lanjut, tetapi Bu Nini menghentikan. "Cukup. Ternyata kamu masih memerhatikan." Senyum wanita mungil itu terbit dengan begitu khas.
Kepala langsung menunduk lagi sebagai isyarat permintaan maaf.
"Ya, karena Hanita sudah menjelaskan ulang mengenai apa tujuannya sekolah suruh datang ke sini, saya ingin memberitahu ulang kalau ..." Telunjuknya mengarah pada teman Kak Marine. "Gina dan ... Aldo. Kalian akan mengikuti lomba pidato dengan tema yang sama."
Bu Nini sepertinya tahu jikalau yang disebut nama akan mencari alasan untuk menolak, jadi beliau segera berbicara lagi, "Saya tahu kalian akan menolak. Tetapi, maaf ... saya tidak bisa terima. Dan lagipula, naskah pidato sudah saya print semalam untuk kalian berdua. Kalian hanya perlu menghafal. Persiapannya dua minggu lagi."
Reaksinya, Kak Gina yang menghela tidak rela dan Kak Aldo yang menggaruk pelipisnya.
"Gak cuma buat Aldo dan Gina, Marine dan Hanita juga sama. Lombanya serentak, di balai kota. Jadi, saya harap kerjasamanya dari kalian, ya?" itulah akhir dari ucapan Bu Nini yang kami jawab kompak, "Iya, baik, Bu!"
×××××
Mata yang terperangkap dalam kacamata kotak berbingkai hitam ini masih melacak kata per kata yang dimaksud dari puisi di naskah selembar. Tapi, karya dari Soetardji Calzoum Bachri.
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
Aku meletakkan selembar puisi di pangkuan paha, cukup menyentak. Urung menamatkan baca dari puisi itu. Kepalaku sudah terlanjur pening membaca puisi dengan sebagian besar katanya adalah konjungsi. Apa semua puisi harus berpola dengan makna yang sulit diartikan oleh orang awam sepertiku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanficTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...