17. Kesadaran

79 22 0
                                    

"Gue suka sama lo, Hanita."

Ungkapan itu membuat sedikitnya beberapa manusia di sekitar sini menoleh penasaran terhadap kami. Aku benci dia buta situasi ketika mengucapkannya. Entah itu akan berakhir kekonyolan yang diakui oleh Khairil atau sesungguh pandangannya yang menerus lurus padaku. Dalam dan dalam. Kedua bibirnya saling mengulum, gugup.

Mengoper tatapan hampa ke Kharil, aku berbisik pelan, "Jangan di sini."

Kemudian berbalik dan berjalan ke suatu tempat di mana aku bisa memberi balasan yang pantas untuk pernyataan cinta yang samar bagiku. Khairil mengikuti tanpa banyak bicara. Lantai empat, paling atas. Mengajaknya melihat pemandangan bawah yang semuanya menjelma seperti miniatur.

Ah, aku tak ingin lama-lama mengasih respon. Helaan napas dilakukan dan memastikan dengan berbicara, "Kalo lo cuma main-main atau bikin gue keliatan lawak di mata lo—"

"Gue serius."

Menyempatkan diri untuk meliriknya adalah hal yang salah. Karena sekali lagi, sinar matanya itu tak berubah. Begitu terperosok dalam kesungguhan yang  anehnya aku merasakan sesak. Seharusnya saat ini,  iblis menggodaku untuk menertawakannya. Seseorang yang menindas berbulan-bulan yang ajaibnya kini mengatakan suka pada korbannya.

"Han, gue serius. Suka sama lo." Repetisi itu tersampaikan seraya dia mengalihkan fokusnya pada area bawah yang lebih menunjukkan lapangan dengan motor-motor milik para guru yang masih bisa dihitung dengan jari.

"Dari awal masuk. Waktu lo ngenalin diri, dari nama sampe deskripsiin tujuan ke depan lo yang sebenarnya. Gue suka gaya bicara lo di depan khalayak. Gue awalnya mikir, gue kagum aja. Ditambah lo selalu aktif belajar, itu nambah kekaguman gue."

Tak ada sedikit pun aku ingin menyela kilas masa lalunya. Kulihat senyum simpulnya ada saat membahas tentang diriku.

"Tapi ... waktu lo nolongin gue hampir jatuh dari tangga. Gue bisa liat muka lo dari deket karena lo narik gue. Dibalik kacamata itu, ternyata ..." Buangan napasnya terdengar berat, Khairil grogi. "Itu cewek paling gemesin yang gue liat. Dari situ, gue kepikiran lo terus."

Senyumannya tambah lebar. Merinding; bukan artian yang baik. Justru ubun-ubunku sudah terpanggang, tetapi aku menahan untuk melemparkannya pada Khairil.

"Sayangnya, gue udah terikat dengan pertemanan antara mereka berdua. Dan gue baru tau, busuknya Ridwan beberapa minggu kemudian. Di mana gue mulai menjauh dari lo karena gue takut hal buruk yang Ridwan kasih ke korbannya bakal kena di gue. Tapi gue malah kebablasan bully lo."

"Han," panggil Khairil untuk membuatku menatapnya. Aku masih enggan menurut. "Alasan gue bully lo, selain sebagai bentuk perlindungan gue, itu karena gue suka liat berbagai bentuk ekspresi lo dalam menghadapi tekanan. Lo gemesin."

Orang gila. Mengutuknya berulang kali dalam hati waktu kata 'menggemaskan' itu dimuntahkan oleh mulut itu. Hanya satu orang yang menyebabkan kebahagiaan melonjak dari kata tersebut. Hanya Kak Marine, tidak yang lain, tidak juga si bangsat di sampingku.

"Bahkan di dalam keadaan terpuruk lo, lo tetep berusaha baik. Pinjemin gue correction tape dan panggil nama gue dengan bener. Gue suka."

Baik apanya? Waktu itu, aku hanya tak ingin memperkeruh suasana. Perihal pinjam correction tape, itu bukan Khairil saja, tetapi satu barisan yang isinya delapan orang. Kurang dari seminggu, aku harus beli baru. Dadaku yang hanya seukuran hasta manusia di tiap panjang dan lebarnya, harus terpaksa dilapangkan lagi. Terakhir, memanggil nama, itu memang dia dilahirkan dengan nama seperti itu, yang baik, persis dengan harapan orang tua laki-laki ini. Jadi, bukankah itu wajar?

"Justru dengan pernyataan ini, kebalikannya gak, sih? Gue keliatan lawak di mata lo. Dan, ya, brengsek juga. Gue tinggal kelas akibat apa yang gue perbuat sama lo, dan orang lain. Gue sadar diri, kok."

"Terus?"

Khairil tersenyum, tetapi lebih masam dan sorot matanya kalau dideskripsikan begitu redup dan hampa. "Itu aja. Makasih," katanya yang terputus oleh napas panjang yang dibuang. "Makasih udah luangin waktu."

Khairil berjalan menjauh. Aku menemukan secuil sajak terjemahan karya Na Tae Joo di punggung dan kedua bahunya. Meskipun rasanya tak pasti, entah kenapa aku masih bisa membacanya.

Sepertinya hari ini kesedihanku
lebih berat daripada berat tubuhku.

Seketika di dalam diriku dibanjiri iba dan iri. Iba karena melihat perenungan yang mendalam dari gerak tubuh Khairil. Dia benar-benar merasa bersalah. Untuk iri, disebabkan nyalinya lebih besar untuk menyatakan segalanya yang dihadapi. Walau dia seorang bajingan, aku menghargai keberanian dan ketangguhannya. Menerima apapun konsekuensi yang sudah semestinya didapat.

Sepasang tangan mengepal erat pada pegangan tas. Kuputuskan bulat-bulat untuk memanggil namanya yang masih tak jauh dari pandanganku. "Khairil!"

Dia menengok. Aku berkata, "Lo gak sopan. Main minggat pas pembicaraan belum selesai."

Khairil berdiri berbalik, kami jadinya berhadapan satu sama lain. Senyuman kecil terpampang di wajahku, aku memikirkan sesuatu yang sempurna untuk beberapa milidetik berikutnya.

Bug!

Yakni, menghajar mulutnya hingga dia terbanting keras ke lantai. Aku meniup tangan kananku yang dipakai untuk menonjoknya. Tatapannya dari bawah terlihat marah tetapi juga takut.

Segera kujelaskan maksud dari tindakanku. "Buat mulut lo yang pernah ngatain gue tepos, meki item-item segala. Asal lo tau, gue masih berisi meskipun gak gede amat dan gue rajin shaving dua kali sebulan, ya, Monyet!"

Ini kedengarannya tak penting sekali, tetapi perempuan itu sangat sensitif kalau sudah terkait tubuhnya. Bahkan melebihi kaum laki-laki. Sejujurnya, masih ada dendam pribadi kala Khairil mengolok-olok bagian badanku sekenanya. Cuma ya sudah, melihatnya terkapar mengenaskan hanya dengan satu pukulan itu sudah memberinya efek jera.

Aku mengulurkan tangannya untuk berdiri. Laki-laki itu hanya menatap planga-plongo. Mendengkus, tanda gregetan sendiri. "Bangun, Bego!"

Terburu-buru dia membangkitkan tubuhnya yang bahkan sungkan untuk menerima tanganku.

Kakiku melangkah mendahuluinya lalu teringat apa yang harus kubilang sebagai salam penutup. "Tapi, makasih, ya, udah bikin gue sadar."

"Apa?"

Lanjut aku meninggalkannya. "Mau tau amat."

×××××

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang