Kejadian Khairil menyatakan perasaannya padaku sudah tiga hari berlalu. Memang aku sudah siuman dari segala ide untuk menimbun perasaanku padanya hingga tarikan napas terakhir. Adanya keberanian dan kemantapan hati yang harus mulai ditanam. Namun seperti tumbuhan yang perlu waktu untuk berproses menjadi bentuk yang sempurna dan berguna, begitu pula dengan dua hal tersebut. Mereka baru tertanam di dalam diriku sejak tiga hari sebelumnya. Kalau menyerahkannya mentah-mentah kepada Kak Marine, rasanya seperti menelanjangi diri.
Bahkan kalau diingat, menatapnya saja sudah mulai kaku dan cemas lagi. Dia sampai bertanya padaku hari ini ketika berdiam di perpustakaan begini, "Kenapa lagi, Hanita? Kamu mulai kayak dulu lagi, kalo ngeliat aku berasa liat sundel bolong siang-siang."
Itu lucu sebenarnya. Akan tetapi, sudah terlanjur gugup, aku justru mengeluarkan tawa yang paling canggung. "Apa, sih? Mana ada sundel bolong ke perpustakaan baca buku sejarah." Aku mengatakannya dengan arah penglihatan ke buku. Pura-pura membaca khidmat, padahal lagi cari kesempatan untuk curi pandangan. Kalau bertatapan langsung, sama saja aku membahayakan kewarasan.
Berkat merampok pemandangan cantik Kak Marine, aku jadi bergairah untuk menulis puisi lagi di malam hari alias sekarang. Walaupun sudah agak lama aku tak melakukannya. Jadinya, agak susah, deh.
Dan di tengah suntuknya mencocokkan kata-kata yang pas, aku mengalihkan diri pada ponsel berharap otakku kembali segar. Mulanya, jariku berselancar di aplikasi perpesanan bergambar gagang telepon dan identik dengan warna hijau yang kebanyakan orang-orang pakai. WhatsApp.
Tidak ada pesan penting selain dari grup sekolah, oke. Mengganti foto profil dari foto Moametal jadi foto idola Korea yang kugandrungi akhir-akhir ini, Giselle aespa, oke juga. Melihat status orang adalah tujuanku selanjutnya. Hanya asal-asal pencet. Sampai terhenti ketika aku melihat nama kontak Kak Chandra.
Isinya tentang poster pengumuman promosi penerbitan buku kumpulan cerpen terbarunya di suatu mal yang akan diadakan akhir minggu ini. Aku tersenyum sesaat. "Boleh juga," gumamku. Namun teringat bahwa letaknya agak jauh dari rumah. Harus menggunakan bus kota untuk menempuhnya. Dan ini berbeda lagi dengan mal yang sempat aku dan Kak Marine kunjungi.
Huh, aku harus berterimakasih pada kejadian yang menimpaku ke depannya. Karena ponselku yang kumat, aku tak sengaja membalas statusnya dengan emoji senyum lebar. Sudah begitu, Kak Chandra cepat sekali melihat pesan tak disengaja itu.
Dasar ponsel butut! Aku sampai tak berani mengintip pesan kala bunyi notifikasi terdengar!
Meski begitu, itu tak bertahan lama. Karena jiwa penasaran sudah meronta-ronta ingin terpuaskan. "Hah! Bodo amatlah!" kesalku. Menyalakan ponselku kembali dan melihat ketiga pesan darinya.
Kenapa, Hanita?
Tertarik, ya?Satunya lagi merupakan kiriman emoji menyeringai.
Kepedean.
Tadi kepencet.Baru ingin kembali fokus ke buku catatan, Kak Chandra sudah membalas lagi.
Oh, kirain tertarik mau dateng ke acara penerbitan. Padahal aku ngarep, dikit.
Ada emoji menangis di akhir pesannya. Aku terkekeh meledek.
Lebay.
Melihat pada siapa aku berkomunikasi sekarang melalui ponsel, aku jadi kepikiran sesuatu supaya kemampuan menulis tidak macet lagi.
Oh, ya, boleh minta tolong gak?
Lagi gada ide buat nulis puisi, Bro.Begitulah. Respon-merespon di WhatsApp antara aku dan Kak Chandra tidak bisa dihindarkan. Yang awalnya cuma butuh pertolongan dalam penulisan puisi, jadi obrolan buku-buku lain dan bahkan kehidupan personal. Dari pesan teks, merembet ke panggilan video. Mungkin, inilah yang dirasakan ketika bertemu teman satu minat. Kecanggungan musnah seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...