Kak Marine menghilang dari pandanganku seminggu ini. Sekadar helaian rambut atau suara serak keberatannya saja tak mampu aku meraihnya. Tak munafik, setelah aku berhasil mengilhami perasaanku sendiri, aku merindu. Lebih dan lebih.
Ini jam pelajaran Matematika, yang kulakukan hanya termangu dengan telapak tangan memangku wajah. Mengabaikan Pak Edo yang menegaskan bahwa harus lebih giat belajar karena dalam hitungan bulan akan melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas. Serta lemparan bola-bola kertas dari Ridwan, Archel yang mengenai kepala dan punggungku, dan Chairil hanya menjadi pihak menertawai dari belakang.
"Bro, lo liat postingan akun paskib sekolah kita gak? Cewek-ceweknya bening-bening, buset!" Khairil bersuara memulai percakapan. Terdengar suara isapan air liur. Aku yakin laki-laki ini berpikiran cabul.
"Yaelah, lo mah emang demen sama semua cewek. Sekalian aja lo sama Hanita!" Selanjutnya suara gelak bising memenuhi pendengaran. Khairil bermuka masam, aku mendengkus jengkel.
"Najis gua mah ama dia. Amit-amit!"
Lantas, aku pun jijik dengan sosok yang hanya bisa bertekuk lutut pada Ridwan dan menjadi penjilat sepertinya.
"Coba gua liat, Gung!"
"Anjing! Selera Agung boleh juga. Emang cakep-cakep anying! Bohay juga coy!" Archel berseru heboh dengan suara tepukan bahu mampu diraih telinga dari belakang.
Ya Tuhan, aku ingin sekali lekas pergi sehingga aku tak bisa mendengar pembicaraan brengsek ini!
"Mana sini gua liat!" titah Ridwan dengan nada penekanan.
"Ck!" Archel dan Khairil berdecak kesal tetapi terdengar suara gumaman takjub diselingi siulan takjub.
"Boleh juga nih cewek. Lo pada tau gak?"
"Siapa?" Khairil menanya.
"Ah, ni cewek! Gua tau! Kakel 11 jurusan MIPA! Kalo gak salah, namanya Morin Murin atau siapa gitu." Archel memberitahu.
"Marine, Tolol! Yeeeu!" Khairil mengoreksi.
"Nah eta!" Archel membenarkan.
"Nah lo pada kenal dari mana? Bisalah gantiin si Kinar." Ridwan berkata sangatlah enteng. Seorang penindas tengik seperti Ridwan, ada keinginan untuk memacari Kak Marine? Aku segera bangkit dengan bunyi benturan kursi dan meja cukup keras pertanda tak senang. Lagi pun, Pak Edo sudah melangkah keluar kelas dan bel istirahat baru saja berbunyi.
Baru dua langkah, tetapi Ridwan memanggil, "Woi!"
Mau sekali aku mengabaikannya, tetapi aku sudah gemetar takut. Berakhir, aku yang pada dasarnya pengecut menoleh pada ketiga laki-laki yang tersenyum mengejek.
"Udah lama juga gue gak nyuruh lu. Es kopi sama mie goreng sama basreng." Ridwan menyerahkan uang dua lembar; hijau terang dan ungu dengan cara melemparkannya ke wajahku.
"Lo pada mau apa? Gue bayarin." tanya Ridwan yang berbaik hati, pada kedua antek-anteknya.
"Anjay! Kalo gitu, makanannya samain. Tapi minumannya es teh lemon," kata Khairil meminta.
"Kalo gue, samain aja kayak Ridwan," ucap Archel yang diprotes dengan yang disebut nama.
Ridwan menyentil sisi kepala Archel. "Yeeeu si dongok samaan bae sama gua!"
"Mang ngapa, sih? Kebetulan aja selera kita sama kali ini." Archel membela diri.
"Udah, udah! Lo pada malah ribut." Khairil melerai tetapi selanjutnya dia kembali fokus menatapku tajam. "Denger ya Han, kalo lo gak bisa balik dalam waktu 15 menit, lo harus bersedia kita-kita ludahin pas pulang sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
Fiksi PenggemarTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...