1O. Seandainya ...

151 35 2
                                    

Sudah jam berapa ini? Ayolah, aku sudah penat menggerakkan kakiku lebih cepat dan berpeluh sepagi ini hanya untuk ke sekolah tepat waktu. Aku menyesali perbuatanku yang bereuforia lebih melahap novel bahasa Inggris milik Dian yang aku pinjam sampai tengah malam.

Sekiranya sudah menapak di sekolah, aku bergegas memasuki kelasku yang harus diraih dengan menaiki tangga. Telinga kiriku mendeteksi adanya dua suara yang beradu gurau di tengah perjalanan ke kelas. Aku menengok dan ... ini pemandangan yang paling tidak ingin aku dapatkan.

Di mana Ridwan yang bersandar di dinding pegangan lantai 2 dan Kak Marine satu meter berada di sampingnya. Keduanya nampak tenggelam dalam keasikan mereka.

Sepertinya, Ridwan bersungguh-sungguh menyukai Kak Marine. Tak ingin berlama-lama melihat pemandangan itu, aku pergi dengan langkah dipercepat.

×××××

"Tumben telat, Han," celetuk Hanum keheranan melihatku sampai di kelas dengan napas tersengal.

"Salahin novel pacar lo noh kenapa seru banget dibacanya." Aku manyun.

Hanum mendelik. "Ya, kalo gitu salah lo sendiri kenapa keasikan sampe lupa waktu."

Aku meringis menggaruk pipi. Aku melepas tali gendong tas yang masih melekat di kedua bahu. Baru saja bernapas tenang, tiba-tiba Ridwan datang kepadaku dan menggebrak mejaku.

"Lo ..." Dengkusannya terdengar keras. "Lo kenapa bisa deket sama Marine?"

Aku menatap lurus padanya. "Kalo gue deket sama dia, itu bermasalah buat lo?" Percayalah, kakiku bergetar saat ini.

"Tinggal jawab! Gak usah bertele-tele! Kenapa bisa lo deket sama dia?" Ridwan mengulangi pertanyaannya dengan geraman, belum lagi tarikan di kerah baju.

"Lo, Ridwan, duduk. Guru bakal masuk. Harap tenang karena kita mau doa." Hanum berusaha menengahi dengan tatapan datar.

Ridwan melepas kerah bajuku begitu saja, memandang hina pada gadis yang ada di sampingku. "Oh, jadi si nolep mulai jadi sekongkol sama pengecut kayak lu?" Ridwan terkekeh.

Mulut terbuka hendak berbicara tetapi Hanum bersuara lebih dulu. "Emang kenapa? Ngurusin amat. Mau gue bergaul sekalipun sama cicak bunting juga bukan urusan lo. Gece, duduk, Wan!"

"Cerewet amat si nolep, pasti kebanyakan main sama lo, sialan!" pandang Ridwan sensi yang pada akhirnya duduk di tempatnya.

Hanum menghela lega, tak lama dia menggerutu, "Anjir, dateng-dateng ngajak ribut malah mulut bau nasi uduk. Pasti gak gosok gigi abis sarapan."

Aku tergelitik. "Udah, ah. Intinya tu orang udah anteng. Makasih, ya," ucapku pelan seraya simpul memberi senyum.

"Mmm, sama-sama. Terus, lo ada hubungan apa sama si Marine itu?" selidik Hanum.

"Kak Marine. Sopan santun." Aku mengoreksi perkataannya.

Hanum berdecak, "Iya-iya, Kak Marine."

"Kita—

"Selamat pagi, my children. Ayo dimulai doanya. Siapa yang pimpin?" Baru saja mau bilang, tetapi guru Penjaskes dengan tinggi menjulang mencapai 200 sentimeter itu telah menyapa. Fader Raka. Um, itu kemauannya untuk dipanggil 'Ayah' meski aku masih keberatan.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang