13. Monster

192 32 0
                                    

note:
!peringatan, ada adegan kekerasan yang tak patut ditiru!

×××××

"Yah, ketauan, ya?"

Menyeramkan. Baik dari Kak Chandra atau suasana yang melatari. Dini hari menjadi terlalu dingin sampai-sampai api unggun tak mampu menghangatkan kondisi. Mataku terbuka lebar-lebar dengan mulutku yang hanya bisa mengeluarkan helaan gelisah.

"Loh?" Aku melirik was-was.

Setelah itu, kutemukan tawa Kak Chandra yang tertahan dengan perut dipegang. Bisa saja aku mengejeknya, tetapi ini telah berbeda.

"Hanita, kamu tegang banget."

"Ha?" Mulutku terperangah.

"Aku emang motivator abal-abal. Aslinya aku cuma penulis biasa yang kebetulan alumni sini."

Berkedip-kedip berkali-kali tanda mencerna perkataannya. Penulis biasa? Pantas saja dia sangat penasaran tentang buku yang kusentuh. Mempertanyakan judul, jenis buku apa, hingga yang dibahas di buku ini.

Aku menatap jengkel. Gelaknya mulai mereda, tetapi masih melihatku menggoda.

Namun, secuil fakta tentang dirinya yang seorang penulis, tak luput membuatku menerima begitu saja. Di kepalaku, tertanam banyak pertanyaan-pertanyaan yang menargetkan tepat pada Kak Chandra.

"Genre?"

Dehaman seraknya membalas sekaligus menengok padaku dengan senyum ramah.

"Kakak nulis buku, kebanyakan genre apa?"

"Macem-macem. Kalo novel; dua teenlit, tiga slice of life, sama dua fantasi-histori fiksi. Sekarang lagi fokus ngeterjemahin novel dari Kanada. Antologi puisi aku ... empat? Yang paling laris di pasaran, judulnya "Perniagaan Kata". Isinya ada 70 puisi. You should read it, because most of them said that one was really reaching their emotions," jelas Kak Chandra panjang-panjang. Dadaku berdegup karena takjub, di usianya yang baru 30-an, dia sudah banyak menulis karya yang menguntungkan segi ekonominya.

Aku menyeringai dan meledek, "I just asked you for the genres, not did promotion."

Kak Chandra tergelak samar. "Ya ... pendekatan. Siapa tau ..." Kedua alisnya naik turun. Aku mengerti sinyal itu.

Sejujurnya, aku cukup tertarik dengan karya-karya yang telah diterbitkan Kak Chandra untuk membacanya. Namun keinginan itu masih surut, itu pasti sangat menguras kantung untuk membeli semuanya.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah buku dari saku jaket kulitnya yang kedalamannya luas sekali. Aku melongo layaknya seorang dungu ketika Kak Chandra menyerahkan buku antologi puisi yang katanya paling laku di pasaran.

"Buat kamu."

Dua kata itu membuat petasan-petasan di kepala. Mulutku masih terkunci.

"Gratis, kok."

Memangnya terlihat sekali kalau aku ini pencari gratisan? Sialnya, tak salah lagi.

"Gak bilang aku mau?" Aku menyela lantaran gengsi.

"Tapi mukamu tergiur."

Tertangkap basah itu memalukan.

"Kok bisa bukunya ketaro di situ?" Aku malah mempertanyakan bagaimana buku itu bisa muat diletakkan di saku jaket kulitnya. Tentu saja, agar dia tak makin meledek.

Kak Chandra menaikkan kedua bahunya ke atas main-main. "Entahlah, aku juga bingung."

"Aneh."

Selanjutnya, Kak Chandra bercerita bahwa buku-buku itu diterbitkan dan dipromosikan secara mandiri. Dia mendirikan sebuah penerbitan buku sejak enam tahun yang lalu. Tepatnya, sehabis dia hengkang dari kampus beberapa bulan yang lalu untuk sebuah alasan yang terlalu keji, sampai-sampai dia tak bisa menceritakannya.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang