Pedagang yang menyeru menjajakan barang dagangannya. Suara ibu-ibu yang menawar harga yang terlampau murah nan tak logis. Pekikan anak kecil kegirangan kejar-kejaran. Petikan gitar serta suara sumbang dari si pengamen. Semua suara duniawi di sekitar pasar tak bisa lagi kudengar, lantaran tersumbat oleh musik yang berdengung melalui earphone hitam.
Pergelangan tangan yang terbalut dalam jaket abu-abu ditepuk tegur oleh seseorang. Aku melepas earphone hitam sebelah yang kupakai.
"Iya, Pak?"
"Udah nyampe, Neng."
"O-oh, tunggu, Pak."
Aku menuruni motor jenis vespa klasik milik sang tukang ojek yang diperkirakan usianya sudah 50-an. Membuka resleting tas kecil dan mengeluarkan dua lembar rupiah berwarna ungu dan cokelat muda, lalu diberi padanya.
"Sip. Makasih, ya, Neng." Si Bapak Ojek mengacung jempol dan balik menyalakan mesin motornya.
"Sama-sama, Pak."
Hari ini, Sabtu. Sekitar jam setengah sepuluh. Wali kelasku mendadak menelepon saat ponselku sedang diisi daya. Memerintah untuk ke sekolah, yang di mana hari ini tiada murid di sekolah ini mengenyam mata pelajaran. Libur.
Diberi tahu penyebab dari perintah itu, tidak sama sekali. Pertanyaan sudah meneriaki di kepala mengenai hal itu. Buat apa, sih? Mau rebahan dan berselancar di dunia maya ada saja penghalangnya.
Langkah demi langkah diambil menuju area depan sekolah yang beratap rindang. Tetapi, suara memanggil seseorang membuat perhatianku teralihkan.
"Hai!"
Kepalaku menoleh dan secepat angin kudekati si penyapa.
"Oh, halo." Aku merespon.
Namun, setelah mendekat padanya, diri ini dibuat tertegun pada yang ada di depanku.
Kedua matanya bersinar menerangi, rambut panjang hitamnya yang terawat dan beraroma harum, stroberi. Kulitnya sawo matang, ciri khas orang Indonesia sekali. Bibir merah muda yang kini tersenyum simpul tanpa olesan lipstik yang mencolok, hidung mancung, tubuh kurus ideal dan tingginya semampai. Cara berpakaiannya pun sangatlah modis.
Seketika aku membandingkan diri sendiri. Mari lihat; kulit putih agak kekuningan, pipi tembam, rambut pendek seleher dengan poni tak begitu rata, tubuh mungil, muka pas-pasan, beserta pakaian tak beraturan kombinasi warnanya dan cukup lecek. Bahkan, aku tak memakai wewangian apa pun. Baiklah, katakan sekarang bahwa perempuan ini membuatku tak percaya diri; untuk sebagian hal.
Lantaran sisanya adalah ... aku terpesona.
Tak henti aku memandanginya dalam diamku. Padahal untuk melihat saja sudah buram. Aku memiliki minus yang sedikit ekstrim yang seharusnya kini aku memakai kacamata. Sayangnya, kacamataku rusak semenjak sebulan yang lalu. Belum beli baru, karena uang saku tak memenuhi dan sungkan minta pada kedua orang tua.
Balik lagi pada apa yang kulihat. Aku bisa bersumpah bahwa perempuan inilah yang tercantik yang pernah kujumpai selama hidupku. Sungguh. Meski aku tahu ini berlebihan dalam menyumpahi, tetapi cobalah jadi diriku barang sedetik saja di sini!
"Hei, kenapa? Mukaku aneh, ya?"
Deg!
Aku menggeleng panik. "Enggak, kok."
Malah cantik banget. Apa yang aneh? Harusnya gue yang bilang gitu. Dasar merendah!
Aku menghisap napas dalam-dalam selepas kepergok menatapinya intens. Tali tas kupegang erat-erat sebagai pelampiasan dari rasa malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...