Pensil warna, kertas sobekan di mana-mana, dan gunting tak kunjung aku kemasi setelah selesai membuat tugas individu dari Ratna Sensei. Membuat kartu ucapan selamat dalam meraih keberhasilan dalam suatu hal dalam bahasa Jepang. Aku masih berduaan dengan ponsel ini, menggulir layar halaman di Instagram untuk melihat berbagai postingan menghibur. Sesekali aku ketawa seperti orang gila lantaran saking lucunya video yang dibagikan.
Di sela menonton berbagai video acak dari laman Instagram, muncul notifikasi di layar bagian atas. Nomor tak dikenal mengirimiku pesan. Aku cepat-cepat membukanya.
+62 821-5623-9078
Hai
20.21oh, hai?
20.22siapa?
20.22Ini aku, Marine
20.22Svbck yaaa
20.22oke
20.22Aku menyimpan nomor itu dengan nama kontak "Kak Marine 11 MIPA 3". Sangat biasa. Meski dia orang yang kusuka, tetapi hubungan kami hanya adik-kakak kelas seperti kebanyakan.
Kak Marine 11 MIPA 3
done y kak
20.23Okeee
20.25Kedua ibu jari berdansa lincah menyusun kata penuh pertanyaan akan peristiwa pagi tadi.
maaf kak sblmnya, km knp tadi pagi keliatan akrab bgt sama cowok kelasan aku?
Gadis secantik dan sebaik dia bercengkerama gelak dengan laki-laki bertabiat seenaknya seperti Ridwan. Sudah terkirim, tetapi aku meragu. Pada akhirnya, aku hendak memilih opsi pada pesanku; menghapus pesan untuk semua orang.
Sial seribu sial, jariku malah meleset, menekan opsi hapus pesan untuk diri sendiri.
"Anjir! Ini gimana, cuy? Nanti dia ngiranya gue enggak-enggak lagi! Padahal emang bener, sih." Aku membanting ponsel dan menutup telinga panik.
"AAAAAAAAAAAAA! GAK BISA! GAK BISA! GAK BISA!" Aku menghentakkan kakiku di kasur.
"NAPA SIH, TA?! DI KAMAR HEBOH BANGET LO!"
Kecemasan tak dapat dikendalikan saat Mbak Yulia berteriak jengkel dari ruang keluarga. Satu-satunya yang bisa kulakukan ialah mengelabui.
"GAK BISA DIUSIR INI KECOANYA! MALAH TERBANG KE AKU!"
"DUH! BUKA JENDELA MAKANYA BIAR PERGI!" Mbak Yulia memberi saran meski sedikit mengaduh keluh.
"Iya-iya." Volume suara mengecil dariku sebagai respon.
Dirasa suasana sudah kembali tenteram, aku kembali telentang di kasur. "Hampir aja." Aku mengambil ponselku yang tahu-tahu ada notifikasi balasan darinya.
"Anjir! Ini dia beneran ngeladenin lagi. Pengen buka tapi awkward jadinya nanti." Aku bermonolog cemas.
Aku menghitung dengan semua jari tangan dan kaki untuk menentukan pilihan; buka atau tidak sama sekali.
"Buka. Enggak. Buka. Enggak. Buka. Eng ... gak." Sampai di kelingking kaki kiri aku mengira, aku cemberut.
"Masa enggak?! Kalo enggak, gue mokad penasaran, nih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
أدب الهواةTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...