O1. Hadapi dengan Berdikari

461 69 7
                                    

Pensil menggores hitam kata-kata di atas sebuah halaman buku. Di mana sudah dilakukan sejak menit-menit awal jam istirahat. Dengan di samping, satu kitab terkenal karya Sapardi Djoko Damono bertajuk Hujan Bulan Juni menjadi preferensi sajak yang kali ini kutulis.

Goresan itu terhenti, bersamaan tepukan terasa di bahu. Aku menoleh, dan menemukan wajah pustakawati muda tersenyum simpul. Diperkirakan menjelang 30 usianya.

"Kamu gak masuk ke kelas? Lima menit lagi bel bunyi." Pustakawati itu mengingatkan.

Mimikku berubah menjadi panik. "Beneran, Bu?"

Wanita yang menjaga perpustakaan itu terkekeh. "Ya iya, masa saya bohong sama kamu."

Segera aku tutup buku yang menjadi wadah penulisan sajakku yang sebenarnya baru terhitung sebait, hingga nampak lah nama panjang di sampul depan buku. Hanita Soraya Askari.

Gawat! Mana sehabis ini jam Matematika Wajib, yang mana yang mengajar Bu Stefani, dikenal dengan sosoknya yang tidak mentolerir sedetik saja keterlambatan datang di jam pelajarannya.

Aku mengemas semua peralatan tulisku ke dalam tempat pensil.

"Kalau begitu, makasih Bu Wenda!" Aku membuka pintu buru-buru kala mengucap.

"Sama-sama, Aska!" Samar-samar kulihat bibirnya menyungging senyum teduh.

Sekarang yang kupikirkan, hanya memangkas waktu agar sampai ke kelas lebih cepat. Bagaimana tidak jikalau letak perpustakaan dan kelas yang kutempati sudah berbeda gedung dan lantai? Perpustakaan di lantai satu gedung satu, sedangkan kelasku berada di lantai empat gedung dua. Letih? Memang. Namun aku senang bila jam istirahat bertandang ke sana. Seolah itulah gerbang inspirasi untuk sajakku yang kini sudah sekitar enam puluhan.

Bruk!

Tetapi sepertinya, nasib apes iseng memihakku. Aku tersandung jatuh dengan kakiku sendiri saat berlari. Dua buku yang dipegang beserta tempat pensil menggelinding berhamburan.

"Akh!" Aku merintih pelan. Duh, rasanya kaki kiriku keseleo. Aku tak bisa leluasa menggerakkannya. Untung, kacamata berbingkai warna hitam masih bertengger di batang hidung.

"Hei, kamu gapapa?"

Suara itu menyambangi telingaku. Aku terkesiap, tahu itu siapa yang berbicara. Dan, aku tak begitu menginginkan sosoknya di sini.

"I-iya ... aku gapapa." Canggung. Lantaran dipertemukan lagi dengan orang lama yang enggan ditemui.

Dia, perempuan itu memandangiku seperti biasa, tak ada raut terkejut. Barangkali dia tak sadar kalau ini aku. Adik kelasnya semasa SMP dulu.

"As ... Ka ... Ri." Bibir itu bergumam nama belakangku. Dia membaca sampul buku depanku yang hampir tertutup oleh genggamanku.

"Aska?" Lantas, aku mengangguk cepat, enggan memperpanjang. Lagipula, aku jamin dia takkan bisa mengingatku secepat itu. Karena di sini, yang memanggilku Aska hanya Bu Wenda seorang selain perempuan ini.

Senyumnya terpatri lembut dan tangannya membantuku bangun. "Ya udah, lain kali hati-hati, ya."

Aku tersenyum kecil. Masih berlari, tetapi tertatih-tatih. Efek dari keseleo.

"Gina!"

Baru saja bernapas lega dikarenakan terbebas dari satu orang lama. Namun sebuah suara bergelombang memanggil di gendang pendengaran. Masih amat sama, amat dikenal. Dan itu lebih buruk dibandingkan sosok yang tadi menolong sekaligus yang dipanggil, Kak Gina.

Aku mempercepat langkah, tak mau bertemu dengannya. Setidaknya untuk sekarang.

Meski terseok-seok dan bercucuran keringat, akhirnya aku bisa masuk ke kelas. Dan ini keanehan yang harus disyukuri, karena figur Bu Stefani belum hadir di kelas.

Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang