Masih bisa menghirup udara segar di pagi hari sesungguhnya anugerah meski itu ialah hal remeh. Termasuk ketika berada di perjalanan ke sekolah dengan melangkah kaki.
Kendaraan yang berbaris gerak layaknya gerombolan semut tak seramai saat siang. Entah itu beroda dua, empat, atau lebih. Sehingga langit yang bakal beranjak biru ini masih bugar dan jernih untuk dipandang, sebelum nantinya kumal nan kusam akibat dari polusi yang dihasilkan banyaknya transportasi darat.
Rongga hidung mengembus angin pagi dengan nikmat. Kedua tangan dan bahu sesekali melakukan gerakan peregangan. Bibir merah jambu yang kutarik, lukisan senyum gembira tercipta. Padahal tiada hal yang fantastis sampai beraksi demikian. Namun kalian tahu? Hal-hal kecil beginilah yang membuatku senang.
Sendirian, tenang, dan tenteram.
"Ketemu juga, Maling Cilik!"
Naas, ketiga hal yang kusenangi pudar karena suara seorang wanita yang terdengar menyeru.
Kepalaku menengok ke belakang, melirik raga Bu Wenda yang nangkring di atas motor beat miliknya. Di bibir, memang beliau mematri senyum. Tetapi, senyum itu tidak ramah. Lebih terkesan ... puas, lantaran bertemu dengan mangsa di hadapan. Tegukan ludah dan bulu kuduk berdiri dibuatnya.
"B-Bu ... saya 'kan udah bilang. Saya minjem, bukan maling. Lagian, s-saya hari ini emang mau ngebalikin bukunya." Aku mengklarifikasi dengan sedikit terbata-bata.
Wajah cantiknya nampak jengah mendengar alasanku. "Naik."
"Ha?" Akalku masih mencerna satu kata singkatnya.
"Naik ke motor saya, Aska. Cepetan."
"Buat apa? Sekolah udah di depan mata ini, loh. Tinggal masuk aja."
Bu Wenda berdecak, seolah perkataanku membuang waktunya. "Udah, cepetan naik."
Titahnya tak dapat diganggu gugat. Aku menurut dan menduduki jok belakang motornya, meski aku bertanya-tanya di dalam kepala akan tindakan Bu Wenda kali ini.
Entah yang dipikirkan pustakawati ini, dia memaksaku menumpang di motornya. Padahal ujung-ujungnya sama saja. Berhenti di parkiran sekolah. Aneh.
Dasar wanita, sulit dipahami.
"Turun. Saya mau markirin motor saya dulu." ucapnya selagi melepaskan perekat helm merah mencolok yang wanita ini pakai.
Sesudah turun dari motornya, aku ambil ancang-ancang untuk kabur dari Bu Wenda. Namun, wanita itu seolah paranormal yang bisa memprediksi apa saja. Setelah helm sudah terlepas di kepalanya, dia memperingati tegas, "Kalo kamu niat kabur dari saya, saya jamin hari ini juga kamu masuk ke daftar hitam saya; orang-orang yang gak boleh mengunjungi perpustakaan, Aska!"
Bibir ini bergelombang manyun sekejap. Tetapi berubah lagi jadi seringai dan memainkan alis naik turun. "Ibu yakin mau masukin saya ke daftar hitam? Entar yang ada Ibu kangen sama saya, soalnya cuma saya satu-satunya murid yang selalu setia ngunjungin perpustakaan, ngunjungin Bu Wenda yang cantik jelita lagi ramah."
Bu Wenda mencubit pipi kiriku dengan ekspresinya yang kesal. "Malah itu yang bikin saya tambah semangat mau masukin kamu ke daftar hitam. Saya muak tiap jam istirahat kamu nongol terus di hadapan saya."
Aku mengusap pipiku yang menjadi samsak. "Duh, kok ibu tega sama saya, sih?"
Bukannya ditanggapi, justru Bu Wenda menarik kerah seragam batik belakangku dengan begitu kuat.
"Awww! Bu! Bu Wenda! Duuuhh! Bu, ini kok saya ditarik-tarik gini, Bu?!!"
"Berisik, jangan teriak! Udah, nurut aja sama saya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dambaan Si Lalat [Bbangsaz]
FanfictionTak pernah absen Hanita mengecap diri sendiri sebagai lalat. Seekor serangga yang tak akan bisa dipandang keindahannya, orang-orang selalu mencerca karena dianggap pengacau dan kotor. Dia terlalu buruk untuk masih berpijak di buana luas yang membent...