Dua Puluh Dua

17 2 0
                                        

Hannie nyaris melompat dari atas kasur setelah mencium aroma sesuatu yang terbakar. Kedua kakinya berlari keluar kamar menuruni anak tangga tanpa ragu ke arah dapur.

"Ada apa Dad?!"  Suaranya terdengar histeris dan meninggi diluar kesadaran. Mr. Yves berdiri di depan kompor dengan tangan berusaha menekan lap basah ke atas penggorengan yang terlihat mengeluarkan api. Tanpa pikir panjang Hannie mengambil kain yang digantung di dekat pintu dapur, mencelupkannya ke dalam sisa air cucian piring di westafel dan melakukan seperti yang Mr. Yves lakukan.

Api berhasil padam.

Mr. Yves mengibaskan tangan meminta Hannie keluar dari dapur. Hannie duduk di sofa ruang tamu dengan keringat membanjiri kening. Punggungnya bersandar pada sofa.

Mr. Yves bergabung dengannya di sofa. Pakaiannya banjir keringat dan ada noda hitam di hampir seluruh wajahnya. Dia menyeka keringat di wajahnya dengan telapak tangan, mulutnya meraup oksigen dengan rakus. Hannie mencoba bertanya apa yang terjadi tapi Mr. Yves mengangkat tangan memintanya untuk diam lebih dulu.

"Aku lupa sedang menyalakan kompor dan kutinggal bicara dengan Mr. Chwe, tetangga baru kita. Sepertinya kita butuh alarm api di rumah ini."  Setelah mengucapkannya, Mr. Yves segera mengambil ponsel dan mencari alarm api dari toko online favoritnya yang sangat lengkap, alarm api dengan kualitas terbaik. Dan berharga mahal, tentu saja. Dia tidak ingin hampir membunuh mereka untuk kedua kali.

Yuqi menghubungi Hannie menjelang sore hari. Dia baru saja pulang berkencan dengan Lucky. Mereka pergi menonton bioksop dan bermain arcade bersama dan Hannie berkomentar bahwa itu sangat menyenangkan. Yuqi juga sudah mengirimkan surat untuk beberapa universitas yang ingin dia tuju. Yuqi benar-benar menyiapkan segalanya dengan baik sementara Hannie baru akan mulai mengirimkan suratnya akhir pekan nanti. Dia belum tahu apakah Sean dan Sony sudah mengirimkan surat mereka.

Sean mengingatkannya tentang pergi berkemah esok hari. Hannie baru saja menonton ramalan cuaca dan diperkirakan besok hari akan cerah. Mr. Yves duduk di sofa seperti biasa, air jahe ada di hadapannya. Dia benar-benar pecinta air jahe.

"Dad..."  Hannie bergabung dengannya. Mr. Yves mengangkat wajah dan mengangguk. "Aku akan pergi berkemah besok."

Mr. Yves tampak terkejut. "Berkemah?!"  Dia mengulangi ucapan Hannie dan nada bicaranya seolah dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Rasanya kata berkemah dan Yves Hannie memang tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.

"Ya... Teman-temanku di sekolah membicarakan itu. Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi, banyak yang sudah pergi ke tempat itu."

"Menginap?!"

Cepat-cepat Hannie menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku akan berangkat pagi buta dan kembali sore, jadi aku sudah tiba di rumah menjelang malam."

"Dimana lokasinya?"

"Di perbatasan."

"Mobil tua kita tidak akan bisa sampai ke perbatasan dengan mudah."

Hannie kembali mengangguk cepat. "Aku tahu, karena itu aku memutuskan untuk pergi dengan menumpang. Ada banyak travel yang akan mengantar orang ke lokasi itu."

Hannie tahu Mr. Yves tidak mudah untuk diyakinkan. Kedua alisnya masih bertaut dan keningnya berkerut. Ayahnya pasti berpikir bahwa mungkin saja Hannie memiliki janji dengan seorang cowok---dan itu benar, tentu saja. Sayangnya Hannie memang tidak ingin memberitahunya dengan siapa dia akan pergi berkemah. Tidak karena Mr. Yves pasti akan membuat Sean mengizinkannya untuk ikut berkemah juga. Mr. Yves benar-benar menyukai Sean.

Jadi keesokan paginya, Hannie bangun pukul empat. Dia sudah menyiapkan semua keperluan yang ingin dia bawa. Tas besar berisi pakaian ganti dan mantel hangat dan beberapa bungkus mi instan bersandar pada daun pintu. Beruntung Mr. Yves mendapat panggilan penting dari rumah sakit yang mengharuskannya datang diluar jam bekerja. Ada operasi penting yang harus dilakukan dan pihak rumah sakit meminta Mr. Yves untuk melakukannya.

Sean datang pukul lima. Dia memakai celana kargo berwarna khaki, mantel sangat tebal berwarna putih, dan beanie berwarna hitam. Dia juga memakai syal yang membungkus erat lehernya.

"Hai..."  Sean menarik Hannie ke dalam pelukan.

Tas besar Hannie bergabung dengan tas Sean yang juga tidak kalah besar di kursi penumpang. "Kau sangat siap..."  Hannie menggodanya. Sean tersenyum dan mulai menginjak pedal gas. "Apa saja yang kau bawa?!"

"Beberapa peralatan dan pakaian ganti. Aku juga meminjam tenda dari Dad."

"Apa jalurnya akan sulit?!"

"Tidak terlalu,"  Sean menoleh lalu tersenyum. "Aku sudah pernah mengunjungi tempat itu sebelumnya, dengan sepupuku. Ada danau besar yang akan membeku di musim dingin dan kita bisa memancing di sana."

"Kalian mendapat banyak ikan?!"

"Yep... Ikan-ikan kecil. Kau pasti akan senang. Pemandangannya menakjubkan."

"Aku tidak sabar..."  Sean tertawa. Hannie bersandar pada punggung kursi. Mobil melaju pelan menembus kabut tebal. Hawa pagi itu sangat dingin. Musik lembut mengalun dari radio mobil membuat Hannie mengantuk.

"Tidurlah... Aku akan membangunkanmu kalau kita sudah sampai."  Dan Hannie benar-benar jatuh ke alam mimpi setelahnya.

PRETTY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang