Enam Belas

15 2 0
                                    

Itu akhir pekan dengan banyak salju yang turun. Hannie mengerang menatap halaman depan yang tampak tertutup salju sepenuhnya. Benar-benar putih dan membuat kedua matanya sakit. Bahkan, dia tidak bisa melihat atap mobil tua Ayahnya yang diparkir di depan rumah.

Mr. Yves masih harus bekerja. Hannie bangun pagi-pagi sekali karena salju sialan dan hawa dingin. Kedua kakinya melangkah menuruni anak tangga dengan lemas. Salju dan Hannie tidak akan pernah berteman baik.

Dia berhasil membuat enchiladas ayam kemarin malam, meskipun tidak sebaik buatan Mum ataupun Bibi Bae. Tapi itu tidak cukup buruk. Dan sepertinya dia akan membuat enchiladas lainnya hari ini. Dia butuh sesuatu yang pedas. Beruntung dia membeli banyak sekali persediaan cabai hijau beberapa hari lalu.

Memasak adalah hal yang menyenangkan. Dia bisa tetap membuat dirinya sibuk dan melupakan banyak hal untuk sesaat.

Dia memotong cabai dan tomat dengan hati-hati. Dia tidak pernah memiliki keseimbangan yang baik dengan tubuhnya sendiri, dan lebih dari tiga kali dia pernah melukai jarinya sendiri. Itu benar-benar menyebalkan, mencium aroma karat dari darahnya sendiri.

Ponselnya bergetar beberapa kali. Satu pesan masuk dari Sean membuatnya mendengus.

Apa yang sedang kau lakukan? - Sean.

Hannie tidak segera membalas pesannya dan memilih untuk melanjutkan kegiatan memasak.

Enchiladas ayam buatan chef Hannie siap untuk disajikan. Dia memandang puas hasil masakannya sendiri. Sepertinya nikmat, tapi dia masih harus menunggu sampai dingin sebelum mencobanya.

Pukul lima sore Mr. Yves kembali ke rumah. Dia mengenakan jaket kulit di luar scrubnya. Dia bahkan masih belum melepas nurse capnya. Hannie bisa menghirup aroma alkohol bercampur dengan karat dan obat-obatan.

Mr. Yves mengenduskan hidung beberapa kali. "Wanginya enak..."  Dia berjalan ke dapur, menatap curiga pada mangkuk yang tertutup di atas meja makan. "Apa ini, Hannie?!"  Dia membuka penutupnya, memandang enchiladas dengan kening berkerut.

"Enchiladas, Dad..."  Mr. Yves tidak memiliki sistem pencernaan yang baik. Dia tidak pernah bisa memakan makanan pedas tanpa melukai perutnya sendiri. "Tapi hari ini aku membuatnya tidak terlalu pedas."  Lanjut Hannie.

Mereka makan dalam diam. Mr. Yves menghabiskan enchiladasnya dan tersenyum bahagia. "Aku tidak sempat mengisi perutku dengan makanan berat. Ada banyak sekali orang di lounge dokter dan sialan pajerku yang tidak mau berhenti berbunyi."

"Apa yang terjadi?"

"Seorang suster magang melakukan kesalahan dengan dosis pasienku. Aku baru mengambil roti dan kopi ketika pajerku berbunyi dan meninggalkan keduanya di atas meja. Begitu aku kembali ke lounge, kopi dan rotiku sudah berpindah ke tempat perabotan kotor."  Mr. Yves menyeka wajahnya yang berkeringat.

Hannie berangkat sekolah lebih awal. Bunyi bootsnya benar-benar menyeramkan pagi itu. Tadi malam salju lebat kembali turun. Dengan hati-hati dia melangkah masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Di pagi hari seperti itu suara mesin dan knalpot dari mobil tua Ayahnya rasanya diperbesar hingga belasan kali lipat.

Butuh waktu lebih lama untuk tiba di sekolah. Dia harus menyetir di jalanan bersalju dengan saaaangat berhati-hati. Dia menyipitkan mata, mencoba untuk memarkirkan mobil di tempat yang tidak terlalu tertutup salju. SUV milik Sean sudah tiba lebih dulu. Hannie tidak bisa menahan senyum. Sean benar-benar siswa yang rajin.

Melangkah keluar dari dalam mobil juga memerlukan kehati-hatian. Hannie mengunci mobil, berjalan pelan menerobos hujan salju yang kembali turun. Mengibaskan salju dari mantel dan juga rambut.

Sean berdiri di koridor. Dia bersandar pada dinding. Dia memakai sweater tebal berwarna putih yang dikancingkan hingga menutupi leher. Wajah dan hidungnya sangat merah. Hannie menyapanya, memberinya senyum lima jari yang biasa dan dia balas tersenyum.

"Kau tidak membalas pesanku kemarin,"  adalah kalimat yang Sean ucapkan lebih dulu. Hannie menepuk kening dengan gaya dramatis, mengatakan padanya bahwa dia sibuk dengan enchilada dan tugas trigono.

Sekolah mulai ramai. Keduanya masih berada di koridor dan membicarakan banyak hal. Atau lebih tepatnya, Sean bicara banyak hal sementara Hannie mengangguk atau menggeleng atau menanggapi dengan satu hingga lima kalimat. Itu terasa aneh menurut Hannie. Menurut Yuqi dan Sony, Sean adalah siswa yang sangat pendiam dan menjaga jarak dari siswa lainnya. Tapi ketika bersama Hannie, Sean bisa menjadi sangat berisik.

Hannie melihat Park Jennifer dan Nara bersandar di sedan mewah milik Jennifer. Kedua lengan Jennifer terlipat di depan dada sementara Nara berdiri di sebelahnya tersenyum sinis. Satu alis Jennifer terangkat, tatapannya tidak bisa lepas dari Hannie yang menatapnya balik.

Baik. Hannie mengerti sekarang. Di antara Nara atau Jennifer, salah satunya pasti ada yang menaruh hati untuk Sean.

Hannie berdeham, mencoba menyuarakan isi kepalanya dengan hati-hati. "Park Jennifer dan Nara sedang memandang ke arah kita."  Sean mengalihkan pandangan dan ikut menatap mereka berdua. "Sepertinya mereka akan membunuhku."

"Yang benar saja."

"Kau tidak lihat ekspresi mereka?! Bagaimana kalau salah satunya menyukaimu?!"  Sean bahkan tidak berusaha menyembunyikan nada jijik dalam suaranya. Dia mendengus, kembali menatap Hannie.

"Aku tidak tertarik."

"Tapi mereka sangat cantik."

"Kalau begitu aku bodoh karena tidak tertarik."

"Kau tidak ingin mencoba?"

"Aku tidak pernah coba-coba dengan hal seperti ini."

"Bagaimana kalau memberi mereka kesempatan?"

"Aku tidak tertarik,"  ulang Sean. Dia tampak gemas dan Hannie semakin bandel mencoba berargumen dengannya. "Dengar... Aku benar-benar tidak tertarik dan itu tidak akan berubah."

"Tapi,-"

"Bagaimana kalau kubilang aku lebih suka dengan Yves Hannie daripada Park Jennifer atau Im Nara?!"

Hannie tersedak hebat.

PRETTY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang