Enam

22 2 0
                                    

Mereka terus berjalan. Sean terus memimpin. Tangannya tidak lepas sedetik pun dari tangan Hannie.

Sean berjalan agak santai dan Hannie berterima kasih karenanya. Hannie tidak perlu terseok-seok mengimbangi langkah kaki Sean karena kakinya terlalu panjang dan langkahnya lebar-lebar.

Semakin lama mereka semakin menjauh dari sekolah. Hannie menoleh ke belakang dan mendapati beberapa siswa menatap ke arahnya. Beberapa siswa tampak terkejut, sebagian yang lain mencibir kesal. Cepat-cepat Hannie kembali memalingkan wajah. Dia tidak ingin menambah daftar musuh setelah apa yang ia lakukan pada Park Jennifer.

"Kita mau ke mana?" Adalah pertanyaan kesekian kali yang Hannie ajukan tapi Sean lagi dan lagi hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Kau akan tahu sebentar lagi... kita akan sampai sebentar lagi..."

Mereka menerobos semak berduri dan Hannie harus hati-hati melangkah agar tidak tertusuk duri-durinya. Sean tentu tidak akan mau menunggunya jika dia tertusuk duri-duri yang tajam dan menciptakan drama kekacauan lainnya, kan?!

Mereka sampai di sebuah tanah lapang yang sangat luas. Letaknya ada di bagian belakang sekolah. Sean baru melepaskan genggaman tangannya. Dia berbalik, tersenyum simpul dan Hannie harus melihat sekelilingnya untuk menemukan sesuatu yang menarik. Tapi sayangnya tidak ada satu pun yang menarik dari tanah lapang itu.

"Err... apa yang harus kulakukan di sini?! Menarik napas dalam-dalam karena udaranya lebih segar dibandingkan ruang gimnastik tadi? Oookay..."

Sean tertawa.

"Kau lihat yang ada di sana itu?!"  Sean menunjuk ke arah bangunan tua di depan mereka.

Ada apa dengan West Coast?! Kenapa ada banyak sekali bangunan terbengkalai di West Coast?!

"Itu bekas gedung teater. Kurasa terakhir mereka menggunakan gedung itu untuk pertunjukkan di tahun sembilan puluhan."

"Darimana kau tahu tentang gedung itu?!"

"Yah... tidak ada yang tidak tahu tentang gedung itu."

"Tapi buktinya aku tidak tahu."  Ucap Hannie bandel.

Sean kembali tertawa. "Itu karena kau orang baru... ayo... Kuajak kau masuk ke dalam situ."

"Ap?! Tapi... bagaimana kalau ada hal-hal menyeramkan di dalam situ?!"

"Hal-hal menyeramkan? Seperti apa?!"

"Seperti..."  Semua adegan buruk dan menyeramkan yang pernah Hannie lihat di film horor mendadak terlintas di pikirannya. Tentang psikopat yang memakai topeng dan bersembunyi di sudut-sudut ruangan sambil mengacungkan pisau ke arah korbannya, tentang pembunuh berdarah dingin yang membawa gergaji mesin dan membuntuti calon korbannya kemanapun, tentang hantu-hantu tanpa kepala yang kadang bersembunyi di dalam lemari pakaian. Dan bagaimana kalau ternyata Sean adalah pembunuh berdarah dingin itu? Bagaimana dengan menarik korban ke tempat yang sangat indah hingga korbannya terhanyut?! Hannie bergidik.

"Bagaimana kalau ada hantu?"

"Hantu?!"  Sean mengulang ucapan Hannie. Dia tertawa. "Tidak ada hantu di West Coast..."

"Kalau begitu bagaimana dengan pembunuh berdarah dingin? Bagaimana dengan psikopat?!"

"Psikopat..."  Sean kembali mengulang. Dia menggelengkan kepala dan memutar mata. "Jangan membuatku tertawa."

"Tapi,-"

"Mau masuk atau tidak? Kau tidak akan menyesal, aku janji..."

Hannie menimbang beberapa saat memikirkan tawaran Sean. Giginya menggigit bibir sendiri. Sean masih menunggu dengan sabar. Membulatkan tekad dan menelan ketakutannya sendiri, Hannie mengangguk dan Sean tampak senang.

Sean kembali memimpin. Kali ini dia tidak berusaha memegang tangan Hannie.

Hannie berada di belakang Sean, berusaha sedekat mungkin dengannya. Jemari Hannie menggenggam bagian belakang kaos Sean sementara kepalanya berusaha mengintip dari balik bahu Sean yang lebar.

Sean membuka pintu besar berkarat di depan mereka, menimbulkan bunyi menyeramkan yang dipantulkan ke dinding-dinding berwarna kusam. Suaranya terdengar seperti Freddy Krueger yang sedang bercinta dengan dinding.

"Aku sering ke sini kalau aku ingin membaca dengan tenang."

"Membaca dengan tenang?!"  Bahkan suara Hannie terdengar diperbesar belasan kali lipat di tempat itu.

"Kau tahu?! Terkadang mereka tidak membiarkanku membaca dengan tenang di sekolah,"  Sean mengacak rambut belakangnya dengan frustasi.

Yeah... itu pasti terjadi. Sean sangat tampan dan pintar dan tubuhnya mengeluarkan aroma hutan yang menyenangkan. Setiap cewek di sekolah selalu ingin menarik perhatiannya. Dan di sini lah Hannie berada saat ini, bersama cowok paling digilai di sekolah. Wajah Hannie kembali memerah. Ugh!

Sean menyusup masuk ke dalam loket yang Hannie yakin dulu digunakan untuk menjajakan makanan ringan dan juga tiket menonton. "Dua bungkus pretzel, please..."  Selera humornya sangat tidak tahu tempat.

Tapi Sean tertawa.

Ada banyak sarang labah-labah di atas permukaan loket yang tertutup debu tebal.

"Kau tahu?! Dulu mereka selalu mengadakan festival lampion di tempat ini."

"Lampion?!"

"Lampion... aku biasa pergi melihat lampion di tempat ini saat kecil dulu. Ada banyak bentuk lampion. Dan Mum berhenti mengajakku ke tempat ini semenjak kondisi kesehatannya menurun."

Mereka meneruskan bermain peran petugas teater dengan pembeli. Sean berpura-pura menawarkan labah-labah mati yang dia temukan di bawah konter dengan harga tinggi, menyebutkan berapa harganya, dan Hannie berhasil menemukan bangkai kecoak berukuran sangat besar dan itu membuat Sean melompat mundur.

"Hentikan! Letakkan kembali itu!"  Hannie tertawa tapi akhirnya menuruti permintaannya, membuang kecoak mati tersebut kembali ke tanah. "Kurasa kecoak itu mengalami mutasi gen..."

Hannie memutar mata mendengar teori Sean.

Sean mengajak Hannie masuk lebih dalam. Teater itu mempunyai empat ruang pertunjukan. Enam ruangan yang sepertinya digunakan untuk para artis teater merias diri, tiga toilet pria dan wanita, dan anak tangga yang bisa membawa mereka menuju lantai dua.

"Kau bisa melihat semuanya dari atas sini..."  Sean benar. Pemandangan sekolah mereka dan juga hutan yang berada di belakang sekolah terlihat luar biasa mengagumkan.

"Ini luar biasa..."

"Aku tahu,"  Sean mengangguk. Dia berdiri tepat di samping Hannie saat ini. "Kau bisa menarik napas dalam-dalam di sini, lalu menenangkan diri. Atau, sesekali berteriak keras dan mengumpat juga asik."

Hannie tertawa.

"Terima kasih..."

"Kembali..."  Sean menoleh ke samping dan Hannie melakukan hal serupa. Jarak keduanya saat ini bisa dibilang cukup dekat. Ini adalah saat dimana para pasangan mencoba mencuri ciuman. Setidaknya itu yang selalu Hannie temukan di novel-novel romantis yang pernah dia baca. Tapi tidak untuk saat ini. Karena Sean bukan pasangannya, bukan kekasihnya.

"Senang kembali ke tempat ini..."  Sean merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, memejamkan mata dan tersenyum. Kemudian dia berteriak keras membuat Hannie tertawa.

PRETTY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang