Dua Puluh Enam

13 1 0
                                    

"Ini kopinya, Dad..."

Secangkir kopi hitam pekat dengan setengah sendok teh gula. Mr. Yves sedang duduk di kursi makan dengan koran dalam genggamannya. Dia memakai kacamata baca. Harus Hannie akui, Ayahnya selalu terlihat tampan ketika memakai kacamata. Dia selalu memakainya jika sedang menganalisis pasien.

"Bagaimana kabar Nyonya Shin, Dad?!" Nyonya Shin adalah pasien Mr. Yves. Hannie bertemu dengannya ketika mengantar bekal untuk Mr. Yves ke rumah sakit minggu lalu. Dia wanita tua yang menyenangkan. Dia mengajak Hannie bicara banyak hal di taman rumah sakit. Dia hidup dengan adik perempuannya setelah suaminya wafat. Dia tidak memiliki seorang anak.

"Hasil labnya akan keluar besok. Aku sudah menghubungi stasiun perawat. Perawat yang merawatnya melakukan tugasnya dengan baik."

Mr. Yves melepas kacamata dan melipat koran. Dia mencoba kopinya.

"Hari apa hari ini?" Lucu bagaimana Ayahnya selalu bertanya hari apa saat itu dan Hannie akan selalu merobek kalender yang ditempel di dinding dapur.

"Err... Sabtu..."

"Aah, akhir pekan..." Mr. Yves menggeliat di kursinya. Dia menguap lebar dan menggaruk belakang kepala. "Apa kau mau pergi?"

"Kurasa iya. Sean mengajakku pergi ke satu tempat."

"Dengan kedua orangtuanya?!"

Hannie memutar bola mata. "Tidak, hanya kami berdua."

Mr. Yves menganggukkan kepala. Mereka kembali diam, Mr. Yves sibuk dengan cangkir kopinya sementara Hannie sibuk dengan ponselnya hingga Mr. Yves berdeham, "ada yang ingin kusampaikan. Ini tentang..." Mr. Yves menggantung kalimatnya dan mendesah, tatapannya jatuh pada langit-langit dapur yang berwarna jingga. "Batas bergaul yang aman antara laki-laki dan perempuan."

Hannie membeku di kursi. Ugh. Tidak dia sangka mereka sampai pada topik itu akhirnya. Hannie tetap diam menunggu Ayahnya meneruskan kalimatnya. Ayahnya seperti sedang berpikir kalimat apa yang akan dia gunakan tanpa membuat suasana menjadi canggung.

"Laki-laki dan perempuan memiliki sistem reproduksi yang berbeda..." Baiklah, ini dia... Mr. Yves membuat gerakan dengan tangannya. Hannie ingin mengubur diri sendiri saat itu juga. "Laki-laki akan selalu aman, tapi tidak dengan perempuan. Dan kalaupun ada salah satu pihak yang akan dirugikan maka itu adalah perempuan.-"

"Dad,-"

Dan Hannie tidak tahan lagi. "Dad!" Dia mengangkat telapak tangan, dengan kurangajar meminta Ayahnya untuk diam. Mr. Yves mengangkat satu alis meskipun wajahnya juga terlihat memerah. "Jangan khawatir soal itu. Aku menjaga diriku sendiri dengan baik. Mum sudah pernah membahasnya denganku ribuan hari yang lalu."

Wajah Mr. Yves justru semakin memerah. Dia menganggukan kepala, Hannie mengangkat dua ibu jari dan memberinya senyuman lima jari yang biasa. Mr. Yves kembali berdeham dan melanjutkan kalimatnya, "yang aku ingin tambahkan hanya... jangan pernah lupakan soal karet pengaman. Atau kita biasa menyebutnya... kondom."

Kali ini Hannie benar-benar melompat dari kursi seolah kursi yang dia duduki mengandung sengatan listrik.

"Dad. Aku oke, okay?! Aku baik-baik saja dan kalaupun aku akan... eem... melakukannya, aku akan melakukannya dengan cara aman."

Mr. Yves menenggelamkan wajah dalam kedua tangan sementara Hannie berlari keluar dari dapur.

Sean menunduk memberikan salam dengan menjilat pada Mr. Yves. Mereka berdiri di depan pintu dan Mr. Yves menahan daun pintu dengan satu tangannya agar tetap terbuka. Dia bertanya bagaimana kabar kedua orangtua Sean, karena dia tidak bertemu dengan mereka sejak satu minggu yang lalu.

"Ibu semakin sering lembur," jawab Sean.

"Oh, ya?! Tapi aku hampir tidak pernah melihatnya di lounge atau di kantin. Aku terakhir bertemu dengannya di stasiun perawat. Dia sedang mencari daftar Tuan Baek."

"Tuan Baek?! Ibu masih berduka kalau mengingatnya."

"Kau benar. Semua orang berduka. Dia pasien yang menyenangkan."

Tuan Baek adalah pasien Mrs. Covey. Dia mengalami infeksi dari giginya yang berlubang dan didiamkan begitu saja, dan infeksinya sudah menyebar hingga ke paru-parunya. Hannie meringis mendengarkan cerita Mr. Yves waktu itu dan berjanji akan menjaga kesehatan giginya sendiri.

Hannie selalu suka melihat Sean menyetir. Pembuluh darah venanya semakin terlihat jelas ketika dia menggenggam kemudi. Itu membuatnya terlihat semakin atraktif.

Hannie berdeham dan mencoba menyandarkan kepala di bahunya. Sean menoleh, tersenyum, dan menepuk puncak kepala Hannie lalu meraih lehernya seperti biasa. Ucapan Ayahnya tadi terngiang-ngiang di dalam pikiran. Itu juga membuat Hannie bertanya-tanya apakah Sean pernah tidur dengan perempuan lain sebelumnya?! Mendongakkan kepala untuk memperhatikan wajahnya dengan jelas, Sean terlihat seperti playboy kelas atas. Tapi ada lebih banyak siswa yang mengatakan bahwa Sean tidak pernah berkencan sebelumnya. Dia memiliki citra yang baik.

"Dad mengajakku bicara tadi.." Sean tidak berkomentar, dia hanya melirik Hannie sekilas dan kembali fokus mengemudi. "Itu pembicaraan yang paling membuatku tidak nyaman."

"Pembicaraan seperti apa?!"

"Pengaman."

"Maaf?!"

Hannie menarik napas dan membenarkan posisi duduknya. Kepalanya masih bersandar pada bahu Sean. "Garis besarnya, tentang seks." Sean terkejut, Hannie bisa merasakannya. Tubuhnya menegang dan raut wajahnya membuat Hannie semakin bertanya-tanya. "Apa kau pernah melakukannya?"

Sean tidak langsung menjawab. Lampu lalu lintas berubah menjadi merah dan mobil berhenti. Sean menarik rem tangan, kini memandang Hannie lalu menggeleng. Hannie mengulang pertanyaan dan kali ini Sean menjawabnya dengan mantap.

"Bagaimana denganmu?!"

Hannie menjawabnya dengan gelengan kepala. Kemudian sesuatu terlintas begitu saja di pikirannya. Sesuatu yang nekat, gila, dan terjadi begitu saja. "Aku ingin melakukannya... denganmu."

Lagi, tubuh Sean menegang di kursinya.

PRETTY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang