Dua Puluh Satu

11 1 0
                                    

Sean mengantar Hannie dengan selamat sampai depan rumah. Volvo tua Mr. Yves terparkir di halaman depan. Hannie sengaja berlama-lama melepas sabuk. Sean sudah keluar lebih dulu dari dalam mobil. Dia membantu membukakan pintu penumpang dan tampak gemas melihat cara Hannie melepas sabuk.

Mr. Yves membuka pintu depan. Satu alisnya terangkat dan satu tangannya menahan daun pintu. "Hannie?! Apa yang terjadi?! Terjatuh lagi?!" Cara Mr. Yves mengucapkannya terdengar seperti Hannie membuat dirinya celaka lebih sering dari tukang sampah mengangkut sampah di lingkungan perumahan mereka.

Sean berjalan tepat di belakang Hannie. Keduanya menaiki undakan depan. Hannie bisa mencium aroma karat dan alkohol dari Ayahnya seperti biasa. Dia sudah terbiasa dengan aroma rumah sakit.

"Tidak ada yang terjadi, Mr. Yves." Sean tersenyum simpul. "Aku hanya mengantar Hannie."

"Kau bisa mengirim pesan padaku kalau kelasmu sudah berakhir. Aku bisa menjemputmu." Mr. Yves berdecak tapi tetap bergeser dari pintu depan. Dia mempersilahkan Sean masuk dan menawarinya secangkir americano. Mr. Yves memang pecinta americano.

Hannie masih bungkam, hanya memperhatikan Sean dan Ayahnya bicara. Mereka duduk berhadapan di sofa, menatap TV yang menyala. Sore itu memang jadwal pertandingan bulu tangkis dan tim favorit Mr. Yves yang akan bertanding. Dia tidak bisa melewatkan itu.

"Berapa skornya Mr. Yves?!"

"Lima-satu!" Mr. Yves tersenyum bangga. Dia meraih mangkuk berisi pop corn asin. Dia pasti membuatnya sendiri. Ayahnya pecinta pop corn asin.

Mereka terus berada di depan TV hingga menjelang pukul tujuh malam. Tim favorit Mr. Yves meraih kemenangan telak. Moodnya sangat baik karena hal itu. Dia melambai penuh semangat, menuruni undakan depan dan bergegas masuk ke dalam mobil. Dia memiliki jadwal jaga IGD malam itu dan dia akan kembali besok malam---atau lusa, jika tidak ada yang menahannya. Hannie yakin Ayahnya pasti akan membanggakan hasil pertandingan di rumah sakit nanti.

Hannie mengantar Sean sampai halaman depan, berdiri di sebelah mobilnya. "Kau masih ingin diam? Tidak mau memberitahuku apa yang terjadi?!"

Hannie belum pernah memiliki pengalaman apapun dengan seorang laki-laki yang bisa dia sebut sebagai kekasih. Dengan Wi atau Mickey dulu, dia tidak pernah merasa cemas atau sakit hati jika salah satu dari mereka bicara dengan cewek lain di sekolah. Jadi, apa ini yang disebut cemburu?! Rasanya aneh dan menyakitkan.

"Han...?!" Sean masih menunggu. Dia meraih tangan Hannie, tersenyum miring seperti biasa meskipun raut wajahnya terlihat sangat frustasi.

Hannie menghela napas, menyerah. "Park Jennifer mendatangiku siang tadi." Sean ikut menghela napas. Dia memejamkan mata tapi tidak mengatakan apapun. "Dan dia bilang dia menyukaimu."

Sean mengerang. "Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya, dan jawabanku tetap sama..."

Sean jelas tidak berbohong karena tatapannya terlihat sangat tulus. Satu ide terlintas di pikiran Hannie "Mickey..."

"Maaf?!"

"Mickey..."

Sean terlihat semakin kebingungan. "Kalau aku tidak salah ingat, sampai lima menit yang lalu, namaku Sean. Ada panggilan lain yang ingin kau berikan untukku?"

Hannie menggeleng dan mengabaikannya. "Mickey tidak pernah membuatku tersudut seperti ini sebelumnya. Dia bahkan tidak pernah membuat orang lain melabrakku di sekolah."

Hannie tahu kalimatnya tadi keterlaluan tapi dia tidak peduli. Dia tidak bisa menahannya lagi, dan mencoba mengutarakan apa yang saat itu mengganggu pikirannya adalah satu-satunya hal yang baik untuk dilakukan. Itu membuatnya merasa tenang meskipun terdengar egois.

Sean tidak menanggapi. Dia masih berdiri dengan tangannya masih memegang lengan Hannie.

Hannie tidak berani menatap ke dalam mata Sean karena kedua matanya sangat mengintimidasi.

Selang beberapa saat, Sean menarik napas dalam-dalam. Hannie mengangkat wajah hanya untuk membaca raut wajahnya tapi Sean benar-benar sulit untuk dibaca. Alih-alih marah atau sakit hati karena ucapannya tadi, Sean justru tersenyum---senyuman miring yang biasa.

"Aku tahu... Aku minta maaf kalau sudah membuatmu sedih hari ini. Meskipun dengan cara tidak langsung." Hannie baru akan membuka mulut tapi Sean menggeleng, "bagaimana kalau kita lupakan tentang hari ini?! Sebentar lagi liburan musim dingin. Bagaimana kalau kita pergi memancing saat liburan nanti? Sepertinya Dad bisa meminjamkan tenda dan peralatan berkemah yang lainnya. Kita bisa berkemah di tempat yang hangat."

Malam itu Hannie berhasil membuat kesimpulan. Bahwa Covey Sean benar-benar sangat dewasa dan hanya dirinya yang kekanak-kanakan. Pikiran Sean bekerja dengan baik sementara pikirannya sebaliknya. Hannie menunggu hingga SUV Sean menghilang ditelan kegelapan malam sebelum masuk ke dalam rumah yang hangat. Aroma kayu dan daging asap tercium dari dapur. Sebelum pergi tadi Mr. Yves memang sempat memanggang beberapa daging asap dan membuat minuman dari kayu manis. Seperti bir yang terbuat dari kayu manis.

Hannie memasang rantai pengaman pada pintu kamar. Aroma kayu dan pepohonan membelai hidung. Tirai sedikit berkibar karena angin yang berhembus. Tangannya menggapai rantai pengaman pada jendela dan memasangnya. Merebahkan tubuh di atas kasur, dua kalimat Sean sebelum dia masuk ke dalam mobil tadi membuatnya merasa ingin jungkir balik.

"Aku akan menjemputmu besok. Jangan lupa tutup dan kunci jendelanya karena malam ini sangat dingin." Sean mengucapkannya sambil memainkan jemarinya di rambut Hannie.

Itu membuat Hannie sangat tersentuh, dan tanpa sadar dia ikut memainkan jemarinya di wajah dan rambut Sean.

Itu kali pertama Hannie menyentuh rambut Sean. Dia memiliki rambut yang hitam dan lebat. Jemari Hannie bermain di rambutnya dan Sean memejamkan mata. Sepertinya dia menyukai sensasi yang Hannie timbulkan.

Kedua kaki Hannie maju satu langkah, tubuh mereka sangat dekat. Hannie tidak tahu, tidak sadar apa yang dia lakukan setelahnya, dia mencoba menarik wajah Sean mendekat dan mencoba menciumnya. Celakanya, perbedaan tinggi tubuh mereka benar-benar sangat jauh. Hannie bahkan tidak mencapai leher Sean jika Sean tidak menundukkan kepalanya.

"Kau tidak bisa mencapai wajahku?! Kau butuh tangga?" Dan Sean kembali merusak mood dalam waktu singkat.

PRETTY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang