16. Salah Sasaran

46.8K 1.2K 5
                                    

Caraka dengan malas dan ogah-ogahan kembali datang ke apartemen Wira, tempat istri keduanya itu tinggal. Belum sampai di pintu apartemen, jantungnya berdetak tak nyaman. Pikirannya terasa kembali pada kejadian malam itu, lebih tepatnya pada penampilan Ashana yang tampak cantik dan manis di matanya.

Ting

Pintu lift terbuka, untunglah hanya Caraka satu-satunya penghuni di dalam sana.

Caraka langsung menyentuh jantungnya yang berdetak tak karuan, "Sial, kenapa dengan diriku? Apa kesehatan ku tiba-tiba bermasalah?" ucapnya pelan merasa tak yakin. Padahal dari hasil tes kesehatannya semua normal saja.

Lalu apa hubungan jantungnya ini bukan pada kesehetannya tapi pada Ashana, istri keduanya itu?

Caraka langsung menggeleng, itu tak mungkin. Wanita jalang seperti nya tak mungkin bisa mempengaruhi dirinya sedemikian rupa. Caraka mengenyahkan semua ingatannya tentang Ashana bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Tiba di depan pintu, Caraka merogoh kartu akses apartemen yang sama sekali tak ia temukan. Merogoh lagi dengan perlahan, sepertinya kemarahannya berbuntut menjadi kebodohan sehingga ia tak ingat membawa kartu itu. Berdecak pelan Caraka memilih menekan bel.

Dan seakan menunggu seseorang untuk membuka pintu, debaran jantungnya kembali memompa.

Apa ia harus begitu deg degan hanya untuk menunggu pintu ini terbuka? Pikirnya sama sekali tak mengerti.

Krek

Pintu terbuka dan semua harapannya sirna seketika, bahkan terbersit rasa kecewa di hatinya ketika tidak menemukan Ashana di balik pintu itu.

Caraka menyipitkan matanya menatap wanita muda yang membungkuk padanya, "Siapa kamu?" tanyanya.

Art itu segera menjawab, "Saya art baru Pak, Bu Bellanca yang mengirim saya kesini"

Mendengar nama Bellanca disebut, kemarahan Caraka kembali naik ke tenggorokan. Pertama kalinya ia merasakan teramat marah pada istrinya itu.

Ketika hendak masuk ke dalam rumah, seseorang dengan gaun putih yang tampak elegan dan manis muncul di pandangannya, Ashana segera menyapa Caraka, "Pak Caraka sudah datang" ucapnya yang membuat Caraka mengernyit, panggilan Pak itu membuatnya merasa seperti di kantor.

"Apa kamu harus..." ucapannya segera terhenti kala menyadari kenapa tiba-tiba ia menjadi tak suka hanya karena panggilan sepele seperti itu?

Melihat Caraka yang memilih diam dari pada melanjutkan ucapannya. Ashana menatap heran, apa pria ini masih marah soal waktu itu?

"Ada apa Pak?" tanya Ashana lagi berdiri masih menunggu kelanjutan ucapan Caraka.

Caraka segera berlalu begitu saja tak kembali melanjutkan. Ia merasa sedikit aneh. Pasti ada yang salah di sini.

Mengikuti Caraka, Ashana segera bertanya ketika Caraka sampai di ruang tamu, "Apa anda sudah makan malam?"

Mendengar itu Caraka berbalik menatap Ashana, pertanyaan ini sangat sangat jarang ia dengar ketika ada di rumah, apalagi dengan fakta Bellanca yang selalu sibuk.

Caraka menggeleng menjawab pertanyaan itu, membuat Ashana langsung tersenyum senang, "Kebetulan sekali, saya sudah masak banyak sebelumnya. Apa anda ingin makan sekarang?"

Perasaan Caraka juga kembali menghangat, mengingat ia di masakkan oleh orang lain. Tidak seperti dirinya yang selalu memasak untuk Bellanca, "Sekarang saja" jawabnya dingin.

Makanan di atas meja ini seperti sebelumnya, di malam Caraka pergi begitu saja. Makanan rumahan yang ramah di mata. Mereka berdua duduk dengan tenang, sedangkan art itu hanya berdiri di dapur mengawasi.

Mencicipi makanan itu, mata Caraka melebar. Ia menatap kembali pada hidangan itu, kelihatannya sederhana tapi rasanya kaya akan rempah. Rasanya lidahnya cocok dengan makanan ini.

Melihat Caraka yang tak bersuara, Ashana pun hanya memilih diam saja, ia tak ingin memancing emosi pria ini yang sangat mudah sekali meledak.

Ia cukup trauma melihat sudah 3 kali pria ini melempar barang di depan matanya. Dan ia tak ingin jika dirinya yang kali ini harus terkena lemparan itu.

Selesai dengan makanannya, Caraka segera naik ke atas untuk mandi. Sedangkan Ashana membantu art yang bernama Dina itu untuk membereskan dapur.

Saat Ashana sibuk dengan cucian piringnya, Dina mendekat padanya, "Ashana sebaiknya kamu berikan teh ini pada pak Caraka, biasanya beliau selalu minum teh sebelum tidur" ucapnya yang membuat Ashana menoleh.

"Terus gimana sama cucian piringku?" tanyanya melihat cuciannya yang belum selesai.

"Gampang, biar aku yang kerjain" ucapnya menarik Ashana dari wastafel cuci piring dan memberikan teh itu di tangannya. "Sana, oh iya pastikan pak Caraka minum sampai habis" ucapnya lagi.

Merasakan dorongan itu, Ashana mengalah dan berjalan naik ke lantai dua. Ia gugup menyadari jika Caraka sepertinya akan bermalam di sini. Di apartemen ini hanya ada dua kamar, dan satunya sudah di pakai Dina. Apa yang harus ia lakukan? Terlebih terakhir kali ia yang menolak untuk ditiduri pria ini.

Sedangkan Dina di bawah sana sudah tersenyum senang karena sudah menajalankan perintah nyonya nya memberikan obat perangsang pada teh itu.

Mendapati Caraka yang kini sudah berganti pakaian santai dengan celana pendek dan kaos polos putih, ia menoleh menatap Ashana yang berdiri di pintu kamar, "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya.

"Saya membawakan teh untuk bapak" ucapnya yang kemudian perlahan masuk dan mendekati Caraka.

Caraka langsung melirik teh itu, ia tak suka minum teh kecuali untuk pertemuan dengan klien jepang atau sebagainya, "Untuk kamu saja" ucapnya singkat.

Ashana sedikit bingung, "Tapi ini untuk bapak" ucapnya yang membuat Caraka yang sudah duduk disofa kamar itu, membuka laptop tanpa menatap ke arah nya, "Kalau begitu buang saja" balasnya tak peduli.

Ashana langsung kesal melihat itu kenapa pria ini selalu memudahkan semua hal.

Kemudian tanpa menunggu lagi ia segera berjalan keluar dari kamar. Sampai di dapur, Ashana langsung meminum habis teh yang hangat itu, tak ada yang salah dari tehnya, manis. Kenapa Pak Caraka tak mau?

Setelahnya ia kembali melanjutkan kegiatan bersih-bersih dapur seperti biasanya. Saat dirinya mulai ragu harus pergi tidur ke kamar Caraka atau ke kamar Dina. Tubuhnya terasa panas.

"Panas, apa ac nya rusak?" tanya Ashana melihat ke arah ac dapur yang menyala. Tidak ada yang salah dengan ac nya, karena sudah tak bisa di tahan lagi, Ashana langsung menuju kulkas membuka botol air dan meminumnya hingga tandas.

"Kenapa panasnya tak hilang juga?" tangannya langsung bergerak gelisah meraba bajunya. Ini bukan panas yang membutuhkan air untuk meredakannya. Panas ini agak terasa aneh, tubuhnya terasa gatal juga.

Mandi. Sepertinya mandi bisa menghilangkan panas ini. Mendapatkan ide itu Ashana langsung berjalan menuju kamar Dina.

Mengetuk pintu, Dina muncul dengan pandangan bertanya yang kesal.

"Din aku numpang mandi ya, badan ku tiba-tiba panas gitu" ucapnya mendesak.

Dina langsung menggeleng, "Mandi di kamar kamu lah Asha, ngapain di kamar ku" ucapnya tak mau.

"Ada Pak Caraka di kamar ku" ucap nya lirih. "Tolong ya Din sekali ini aja" ucap nya memohon.

Tapi Dina tak bisa membiarkan Ashana masuk ke kamarnya, ia yakin reaksi obat itu sudah bekerja. Ashana harus sekamar dengan Caraka.

"Kekamar kamu aja, kamar mandi ku rusak, airnya mati" ucapnya sebelum dengan tergesa-gesa menutup pintu.

"Din....Dina" teriak Ashana merasa putus asa.

Dan saat itu Dina yang berada di balik pintu tertegun, "Kenapa Ashana yang merasa panas? Teh itu yang minum Pak Caraka kan, bukan Ashana?" Dina langsung membuka pintu ingin bertanya, tapi sayang Ashana sudah berlari menuju lantai 2.

Rahim 1 Miliar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang