SATU

728 46 0
                                    

KENZO sangat-sangat bersyukur ia mempunyai kaki yang jenjang. Dengan kedua kakinya itu, ia mampu mendaki dua anak tangga eskalator sekaligus demi menuju bioskop di lantai lima sebuah mal. Tidak ada waktu lagi untuk menyesali keputusannya untuk tidak naik lift karena antrian lift ramai sekali. Ia merutuk dalam hati, mengapa mal hari Jumat ini begitu ramai? Napasnya berpacu dengan detak jantungnya, harap-harap cemas pelanggannya yang satu itu tidak kabur karena terlalu lama menunggu Kenzo.

Kamu di mana? Aku sudah di depan bioskop.

Jari Kenzo berpindah-pindah dari satu huruf ke huruf lain dengan cepat di kolom pesan di aplikasi Nirtunggal. Tangannya jadi sedikit gemetar karena napasnya masih terengah-engah. Pemuda itu celingukan melihat ke arah bioskop, mencari seorang gadis dengan deskripsi memakai baju hangat krem kebesaran dan rok putih panjang. Kartu karyawan Nirtunggal yang menggantung di lehernya bergoyang-goyang seiring ia bergerak.

Ponsel Kenzo tak lama bergetar dua kali, tanda ada pesan masuk dari aplikasi Nirtunggal. Gadis itu membalas, aku sudah di depan loket, sedang mengantri.

Kenzo lantas masuk ke dalam bioskop. Antrian di depan loketnya rupanya mengular sampai ke pintu. Pemuda dengan kaus biru dongker itu berjinjit untuk mencari gadis yang akan bertemu dengannya. Meskipun tingginya 178 sentimeter—setidaknya itulah yang dikatakan dokter saat ia melakukan pemeriksaan kesehatan lima tahun lalu—Kenzo tetap membutuhkan tumpuan jari kakinya untuk membantunya mencari gadis itu.

Aku tidak melihatmu. Antriannya panjang sekali. Kira-kira aku masih kedapatan tiketnya tidak, ya? balas Kenzo di kolom pesan.

Jangan ikut mengantri. Aku akan membelikanmu tiket. Kamu tunggu di luar antrian saja, balas gadis itu.

Kenzo menghela napas. Inilah akibatnya kalau tidak berangkat cepat-cepat dari kos. Karena hari Jumat malam, semua kendaraan tentu saja menyambangi jalanan Jakarta. Juga mal-mal di pusat kota. Apalagi hari ini adalah hari penayangan perdana film Gelap Gulita, film horor dari sutradara kebanggaan seluruh masyarakat di negeri ini. Kenzo dan pelanggannya akan menonton film itu hari ini. Rupanya banyak yang berpikiran sama.

Tiba-tiba seseorang dengan deskripsi mirip keluar dari antrian membawa dua tiket. Gadis dengan baju hangat krem yang kebesaran dan rok putih panjang. Ia tampak mungil sekali. Mungkin tingginya hanya sampai dada Kenzo. Pantas Kenzo tidak melihatnya. Ia tenggelam di antara barisan orang-orang. Kenzo kemudian menarik napas panjang. Tak lupa ia memasang senyum manisnya yang dihiasi lesung pipi di sebelah kiri. Ritual yang biasa ia lakukan sebelum ia bertemu pelanggannya.

"Irene!" panggil Kenzo.

Gadis dengan baju hangat krem itu mendongak. Kenzo lega ia tidak salah panggil orang. Mata Kenzo memperhatikan mata Irene. Pemuda itu kemudian menunduk mendapati Irene melirik ke arah kartu karyawan yang tergantung di dada Kenzo.

"Ah, Kenzo? Dari Nirtunggal?"

Kenzo menghampirinya sambil mengangguk. Ia mengeluarkan tangannya dari saku celana jinnya, hendak menjabat tangan gadis itu. Dengan ragu, Irene menjabat tangannya. Gelagat Irene yang canggung membuat Kenzo ikutan canggung juga.

"Ini tiketnya," kata Irene sambil menyerahkan satu lembar tiket pada Kenzo. Pandangannya tetap menunduk seolah menghindari tatapan Kenzo.

Kenzo menerimanya. Ia membaca informasi yang ada di tiket itu. Filmnya akan tayang di Teater 3 pukul 18:45. "Terima kasih. Mau cari tempat duduk?"

"Sepertinya tidak ada yang kosong," jawab Irene.

Kenzo celingukan. Rupanya benar. Semua sofa di pinggir bioskop terisi semua oleh orang-orang yang ingin menonton. "Kalau begitu tunggu di dekat teater saja."

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang