TUJUH

111 15 0
                                    

"ASTAGA, Ken! Yang benar sajalah!" pekik Livy.

Pekikan Livy membuat Kenzo mematung di depan sepen di lantai satu. Mulutnya menganga kaget dan mata pemuda itu bingung dan kalang kabut. Gelas kosong yang dibawa Livy tergantung di tangannya, mungkin jika pegangannya tidak dipegang, gelas itu akan jatuh.

"Bu Gaya! Lihat Kenzo, Bu!" panggil Livy lagi.

Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga dari tempat Kenzo berdiri. Bu Gaya, dengan kerudung parisnya yang seperti biasa acak-acakan, datang tergopoh-gopoh, melongok dari balik belokan tangga untuk melihat apa yang membuat Livy memekik. Begitu melihat apa yang terjadi, Bu Gaya menghela napas pasrah. Beberapa jejak sepatu tercetak di atas lantai setengah basah yang baru dipel. Tanah merahnya tampak mencetak bentuk sol sepatu Converse yang Kenzo pakai.

Kenzo lantas menoleh ke belakang, melihat jejak tanah merah yang ia hasilkan dari sepatunya. Ia hanya nyengir sangat lebar, seperti bocah yang baru saja mematahkan sapu ibunya.

"Kamu itu habis dari mana, sih, Ken? Lantai baru Ibu pel sudah kamu kotori lagi," omel Bu Gaya dari atas tangga. "Ayo dipel lagi. Sepatunya letakkan di luar saja, jangan lupa dibersihkan dulu."

Kenzo, yang masih tersipu malu, buru-buru melepas sepatunya dan menentengnya ke luar. Ia kemudian mengambil pel dan membasahinya dengan air dari keran di luar. Tetesan air mengucur dari kain pel tersebut, yang kemudian segera Kenzo bersihkan.

"Nah, gitu, Ken. Biar bersih. Tadi air hujannya tempias sampai dalam, makanya teras dan lantai satu Ibu pel," ujar Bu Gaya.

Kenzo terkekeh. "Maaf, ya, Bu. Aku pikir sepatuku sudah bersih. Ternyata belum."

"Santai sama Ibu, mah, Ken. Asal dibersihkan lagi saja. Memang kamu habis dari mana sampai sepatu penuh tanah merah begitu?"

Angin pagi bertiup, membuat pintu depan terbuka sedikit. Baguslah, lantai akan cepat kering jadinya.

"Habis dari makam," jawab Kenzo tanpa menoleh.

"Siapa yang meninggal, Ken?" tanya Livy. Gadis itu mendekat ke arah sepen, rambut keritingnya yang ia gerai terbang dimainkan angin. Ia menuang air panas ke dalam gelas yang ia bawa, kemudian menyeduh teh melati yang sengaja disediakan di kantor.

"Tidak ada, Kak. Iseng saja tadi main ke makam Bunda."

Kenzo, meskipun wajahnya tertunduk mengamati pel yang sedikit demi sedikit mengangkat noda tanah merah, tahu bahwa seniornya itu menoleh ke arah Bu Gaya untuk meminta penjelasan. Namun, sepertinya Bu Gaya enggan menjelaskan. Ibu tambun itu langsung naik ke lantai dua untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Oh, aku baru tahu kalau mamanya Kenzo sudah tidak ada," kata Livy. Ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak canggung dengan mengambil toples gula.

Namun, alih-alih canggung, Kenzo malah tertawa. "Kalau itu, sih, punya, Kak. Yang tidak punya itu Bunda."

Kenzo yakin Livy pasti tidak paham apa yang dimaksud, tetapi biarlah seperti itu. Ia tidak ingin juga semua orang paham dengan latar belakang keluarganya. Akan sulit rasanya bila menjelaskan semua itu pada semua orang. Toh, tidak akan ada yang paham juga.

Setelah dirasa cukup bersih, Kenzo meletakkan gagang pel di tempat semula. Pemuda itu kemudian beralih pada sepatunya, mencoba membersihkan tanah merah yang menempel pada sepatunya. Kenzo tidak punya alat apa-apa untuk membersihkan tanah merah. Air adalah satu-satunya jalan untuk membersihkan itu, tetapi ia tidak ingin sepatunya basah.

"Coba cuci solnya pakai air, Ken. Jemur di luar. Siang ini sepertinya akan panas, mudah-mudahan sepatumu cepat kering," ujar Livy sambil mendekap gelas berisi tehnya.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang