DUA PULUH SATU

48 11 0
                                    

"KOK, tahun baruan tanggal 11, Ken?"

Suara Keira teredam tebalnya helm dan kencangnya angin. Namun, entah bagaimana ceritanya Kenzo masih dapat mendengar suara Keira dengan jelas. Kenzo mengira ini pasti karena Keira latihan vokal terus menerus karena mau pentas. Jadi suaranya bisa sebesar itu.

"Karena banyak yang tidak bisa kalau awal Januari, jadi agendanya dipindah ke tanggal 11," jawab Kenzo.

Mereka menembus angin menuju rumah Bu Gaya di bilangan Jakarta Pusat. Angin malam saat itu sukses membuat Kenzo merapatkan jaket coklat susunya. Dari kaca spion motornya, Kenzo dapat melihat Keira merapatkan kardigan putihnya. Dalam gelap malam, Kenzo tersenyum. Keira terlihat sangat berbeda. Bukan berbeda, gadis di belakangnya terlihat seperti gadis yang waktu itu Kenzo temui di TIM. Kulit pucatnya telah tersapu riasan tipis. Bibirnya sewarna ceri, dengan sedikit warna aprikot di luarnya. Rambut sepunggungnya gadis itu satukan dengan karet rambut, terbang bersamaan dimainkan angin. Bahkan di antara aroma malam dan knalpot, Kenzo dapat mencium parfum mawar yang waktu itu Keira kenakan saat pentas monolognya.

Seketika, mata Keira melirik kaca spion. Ia tersenyum jahil, membuat Kenzo memalingkan wajah. "Fokus, hei! Malah bercermin."

"Siapa juga yang bercermin! Aku sedang melihat di belakangku ada kendaraan atau tidak," elak Kenzo. Padahal sebenarnya bukan itu alasannya.

Keira menggumam sangsi. Kenzo tidak menggubrisnya. Mau bagaimanapun rasanya Keira akan bisa membaca kalau Kenzo memperhatikannya. Keira bukan hanya aktor yang handal, tetapi pembaca situasi yang mahir juga.

"Jangan sering-sering lihat belakang," ujar Keira.

"Memang kenapa?"

"Nanti menabrak."

Kenzo berdecak. "Aku jago kalau urusan bawa motor. Aku bisa menempuh jalanan ramai ini sampai perempatan depan dalam waktu satu menit."

"Benar, ya?"

Kenzo mengegas motornya lebih kuat lagi. Dibawanya Keira meliuk-liuk menyelip di antara kendaraan lain. Makin kencang Kenzo membawa motornya, makin kencang juga genggaman Keira pada jaket coklat susu Kenzo.

"Ken! Ken! Ken! Taubat, Ken! Aku belum mau mati!" seru Keira. Gadis itu memukul-mukul bahu Kenzo sampai Kenzo melambat.

Kenzo mengakak geli. Dibawanya motor itu ke kiri. "Jago, kan?"

"Orang gila."

"Memang. Baru tahu atau baru sadar?"

Kenzo berbelok lagi ke kanan. Mereka memasuki kawasan perumahan yang mulai sepi. Kendaraan mulai jarang melintas, paling-paling hanya satu atau dua motor. Para warga pun mulai jarang terlihat, paling hanya satu atau dua yang terlihat masih berada di teras mereka. Kenzo segera tahu bahwa keriuhan di rumah di ujung jalan itu pasti gara-gara rekan-rekan dari Nirtunggal sudah sampai lebih dulu.

"Kenzo!" sapa mereka begitu motor Kenzo berhenti di depan pagar hitam rumah Bu Gaya.

Kenzo membuka helmnya, menyapa mereka semua. Rekan-rekan Nirtunggal sudah mulai ramai memadati teras luas rumah Bu Gaya. Dua kompor kecil dipasang di sana, masing-masing memiliki wajan teflon untuk membakar daging, sosis, dan bakso yang sudah dimarinasi. Deon terlihat sedang membumbui bakso untuk dibakar. Bianca dan Mario sibuk menusuk-nusuk bakso ke tusukan sate. Mona dan Gifran sibuk mencairkan bakso dan sosis yang masih beku. Kemudian Soni, kepala divisi Media Sosial, dan Dwiki, salah satu customer service Nirtunggal, sibuk menumpuk gelas-gelas plastik di atas meja. Sementara itu, Livy mengetes apakah wajannya sudah panas atau belum. Beberapa sisanya—Kenzo mengira mereka adalah orang yang mengekos di rumah sekaligus kos milik Bu Gaya—pun ikut membantu.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang