DUA PULUH

54 12 0
                                    

"BAGAIMANA pesta ulang tahun anaknya Bu Hilda?" tanya Keira.

Pagi-pagi sekali Kenzo sudah bangun dan memanaskan motornya. Hari ini hari Sabtu. Kenzo libur dan tidak ada pelanggan yang menghubunginya. Keira latihan hari ini, tetapi Bang Jo memutuskan untuk memindahkan agenda latihannya ke sore hari alih-alih pagi karena ia ada urusan keluarga. Jadi pagi ini, Kenzo dan Keira bisa mengunjungi dua makam sekaligus. Agenda pertama Kenzo adalah menjemput Keira di Menteng kemudian langsung tancap gas ke TPU Joglo di Jakarta Barat. Ayah Keira dimakamkan di sana. Baru kemudian mereka berdua ke makam Bunda di TPU Prumpung Jakarta Timur.

"Meriah. Bu Hilda baik betul. Kami diperlakukan layaknya anak-anak. Anaknya Bu Hilda juga senang." Kenzo tertawa. "Tahu tidak? Yang datang itu cuma anak-anak Nirtunggal saja."

"Oh, iya? Memang teman-teman anaknya ke mana?" tanya Keira. Sepatunya menginjak tanah merah kering di TPU Joglo.

"Tidak datang. Anak itu belum sekolah. Mereka baru pindah ke Jakarta. Jadi ibunya inisiatif untuk memesan beberapa karyawan Nirtunggal untuk memeriahkan ulang tahun anaknya. Ketika Pak Deon tahu bahwa beberapa dari kami mendapatkan pelanggan yang sama untuk ke pesta ulang tahun, langsung dia ajak satu kantor untuk ke rumah Bu Hilda. Wah, bukan main senangnya anak itu! Apalagi banyak dari kami yang suka anak-anak. Jadi makin meriah," jelas Kenzo bersemangat.

"Sepertinya seru, ya, bekerja di Nirtunggal. Bisa bantu banyak orang, buat senang orang, jadi karyawannya sendiri makin senang. Kebahagiaan itu, kan, menular. Pasti karyawan Nirtunggal hidupnya bahagia," ujar Keira.

Seandainya tempat kerja bisa menentukan kebahagiaan, kata Kenzo dalam hati. Gampang sekali rasanya Keira mengatakan itu. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Meskipun senang bisa membantu, kesenangan itu hanya Kenzo rasakan sesaat.

"Makam Ayah ada di sana." Keira menuntunnya menuju salah satu makam yang berada di tengah.

Makam itu ditutupi rumput yang terawat, pendek-pendek dan tidak mencuat ke mana-mana. Sekelilingnya terdapat ubin keramik. Sebuah nisan dari keramik juga bertengger di sana. Kenzo membaca nama di nisan tersebut. Hamdan Pramudya tertulis di sana, agak kotor karena terkena noda tanah. Di bawah namanya, terdapat tanggal wafat. Ayah Keira baru wafat dua tahun lalu.

"Hai, Ayah," sapa Keira. Keira berjongkok di samping makam ayahnya. Ia menyiramkan air mawar ke batu nisannya, mengusap-usapnya agar nisan itu tak lagi kotor. "Lihat siapa yang aku bawa."

Kenzo tersenyum. Bahkan di situasi yang agak haru ini, Keira masih terlihat sumringah. Di bibirnya tersungging sebuah senyum tulus meskipun matanya menerawang entah ke mana.

"Yah, kenalkan ini Kenzo, teman baru Keira. Dia kerja di Nirtunggal. Sekarang ada perusahaan namanya Nirtunggal, Yah. Kerjanya menemani orang yang kesepian dan butuh bantuan. Seperti Keira."

Keira mengambil jeda. Gadis itu berpindah, kini ia duduk di keramik di makam ayahnya. Jarinya ia mainkan, ujung kukunya ia cubiti. Padahal Kenzo bisa melihat ujung kuku tangan Keira tipis dan merah-merah. Kenzo bertanya-tanya apakah Keira sering melakukan itu.

"Ayah pasti senang kalau ketemu Kenzo. Soalnya dia seperti Ayah, mendukung Keira apa adanya." Keira menabur bunga yang ia beli di pintu masuk pemakaman. "Ayah tahu tidak kalau Keira masih belum baikan sama Ibu? Lama juga, ya, Yah. Sudah nyaris setahun Keira diusir. Tapi, ada Kak Rindang, sih. Ada Kenzo juga. Ada teman-teman Senandika juga. Mereka cukup untuk Keira."

Kenzo menoleh tatkala Keira berkata demikian. Apa ia baru saja dijadikan jaminan akan kehidupan Keira yang lebih baik? Kenzo tidak bisa memberikan apa-apa. Kenzo sendiri saja berantakan psikisnya, materi pun ia juga pas-pasan.

"Iya, kan, Ken?" tagih Keira.

Kenzo tersenyum. "Aku coba."

"Kata Arina dia keeper, Yah."

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang