TIGA PULUH ENAM

191 12 0
                                    

BEL yang berbunyi di lantai satu kantor mengagetkan semua orang yang sedang bekerja di kantor hari itu. Termasuk Kenzo. Ia sampai salah ketik ketika mendengar bel tersebut berbunyi.

"Paket siapa, tuh?" tanya Livy. Matanya masih fokus dengan laptop di hadapannya.

Semuanya mengatakan tidak. Sementara itu, bel masih terus-terusan berbunyi. Terpaksa Kenzo yang bangun untuk menjawab tamu.

Kenzo turun dari lantai dua tanpa memakai sepatunya. Ia buru-buru meraih daun pintu lalu membukanya. Betapa terkejutnya ia melihat seorang perempuan necis berada di ambang pintu.

"Kak Rindang?"

"Kenzo? Ternyata benar kamu bekerja di sini."

Kenzo gagap harus apa. Sudah dua bulan lamanya ia tidak mendengar kabar dari keluarga Keira semenjak Keira meninggal. Kedatangan Rindang yang tiba-tiba membuatnya agak gugup.

"Masuk dulu, Kak," kata Kenzo. Ia membuka pintunya lebih lebar.

"I'm kind of in a rush right now. Aku cuma ingin memberimu surat ini." Rindang memberi sepucuk kertas berdebu pada Kenzo. Kenzo menerima surat itu. Dibacanya tulisan di depannya. KENZO, ditulis besar-besar dan miring di ujung amplop putih itu. Tulisan Keira. "Saat kami membereskan barang-barang Keira di apartemennya, kami menemukan surat itu tergeletak di meja kerjanya. So, I tracked where you work and here I am."

"Dari mana Kak Rindang tahu?"

"Invoice. She still saved it, you know?"

Benar. Di setiap invoice yang dikeluarkan oleh Nirtunggal, tersimpan alamat kantor Nirtunggal juga. Namun, Kenzo tak menyangka sang aktris masih menyimpannya.

"Terima kasih, Kak."

Rindang tersenyum, tangannya masih bertengger di kusen pintu. "Harusnya aku yang berterima kasih. Aku tidak ada untuk Keira selama Keira hidup, dan kamu ada di sana pada waktu-waktu terburuknya. Mungkin aku menyediakan kebutuhan materinya, tetapi nyatanya itu tidak cukup untuk Keira."

"Kurasa kita punya peran kita masing-masing dalam hidup Keira," ujar Kenzo.

Rindang tersenyum. Ia mengucapkan selamat tinggal dengan gagap. Senyumnya merekah sebelum akhirnya ia kembali ke lahan parkir menuju mobilnya. Ya Tuhan, senyumnya mirip sekali dengan Keira.

Sepeninggalan Rindang, Kenzo duduk di kursi di lantai satu. Diperhatikannya surat itu. Amplopnya berdebu, mungkin karena sudah dua bulan lalu Keira tulis dan Keira abaikan. Ingatan-ingatannya tentang satu tahun yang lalu kembali lagi, berputar-putar di kepalanya seperti gulungan film. Ingatan-ingatan yang manis, tetapi entah mengapa yang pahit lebih mendominasi.

Dibukanya amplop itu dengan lembut. Secarik kertas yang terlipat tiga terlihat di sana, lengkap dengan tulisan tangan Keira yang lumayan berantakan. Ia kemudian membuka amplop putih itu dan membaca isinya.

Untuk Kenzo.

Hai, Ken. Kalau kamu sedang membaca surat ini, kamu harusnya bersukaria karena aku sudah tidak ada di dunia ini. Aneh sekali, ya, surat-suratan begini. Biasanya kalau ada apa-apa aku langsung memberitahukanmu lewat pesan singkat. Tapi kurasa pesan singkat saja tidak cukup. Aku perlu menulis menggunakan tangan sendiri karena kapan lagi aku bisa menulis surat? Surat terakhir pula. Hahaha.

Bibir Kenzo tidak sengaja terangkat ketika ia membaca kata terakhir di paragraf pertama. Tidak seharusnya Keira tertawa. Dan tidak seharusnya juga Kenzo tersenyum. Rasanya begitu salah. Kenzo melanjutkan membaca.

Aku sebenarnya bingung mau mulai dari mana. Ada banyak sekali yang ingin aku sampaikan padamu. Tapi aku tidak tega. Mungkin kamu berpikir bahwa aku egois, bersikap semauku dan sesukaku tanpa memikirkan risikonya. Percayalah, Ken. Aku telah memikirkan risikonya. Bahkan sampai risiko terburuknya, selamat dan hidup cacat. Tapi, kurasa risiko terburuk itu tidak akan terjadi, tenang saja. Aku tidak akan lagi merepotkan siapa-siapa kali ini. Termasuk kamu.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang