DUA PULUH TUJUH

58 11 0
                                    

"KAMU di mana?"

Kenzo adalah orang terakhir yang pulang dari kantornya hari itu. Rupanya pelanggannya terjebak macet saat pulang dari sekolah. Akibatnya Kenzo harus menjaga rumah satu jam lebih lama dari kesepakatan. Untungnya Bu Gaya meninggalkan kunci kantor di belakang pot di bawah keset.

"Di Cikini. Habis rapat sama Senandika. Kenapa, Ken?"

Kenzo memasukkan kunci kantor ke dalam saku jaketnya. Ia kemudian mengeluarkan kunci motor, berjalan ke arah motor hitam merah miliknya. Dikempitnya ponsel miliknya di antara bahu dan telinga sembari memasukkan kunci ke motor.

"Ketemuan, yuk? Sekalian makan malam. Masih rapat?"

"Sudah selesai, sih. Boleh. Mau makan apa?"

"Yang murah di sekitar Cikini saja."

"Pecel lele mau tidak? Aku ingin pecel lele. Nanti aku tunjukkan di mana yang enak," ujar Keira.

"Oke, aku jemput kamu di Cikini, ya."

Keira menutup telepon setelah mengatakan iya, membuat Kenzo mengunci ponselnya dan memasukkannya ke saku jaketnya. Pemuda itu lantas memakai helmnya, kemudian melaju ia menuju keramaian kendaraan bermotor di jalanan.

Rumah markas Senandika di Cikini dari luar terlihat ramai. Di terasnya terdapat banyak sandal dan sepatu. Pagarnya tidak dikunci. Pintu depannya terbuka lebar, memperlihatkan anggota Senandika yang sedang duduk melingkar ditemani cahaya temaram dari lampu tengah yang mulai kehilangan dayanya. Lampu terasnya menyala kuning seperti rumah-rumah di desa.

Kenzo menurunkan kakinya dari pijakan kaki di motornya. Helmnya ia buka, ia sampirkan di kaca spion. Ia matikan motornya, kemudian bercermin di spionnya, membenarkan poninya ke kanan. Lalu pemuda itu menunggu.

Meskipun hari sudah gelap, jalanan di sekitarnya makin hidup. Tukang makanan buka di setiap petak, menjajakan dagangannya. Wangi bawang putih dan sambal dari tukang nasi goreng di seberang Kenzo menggodanya. Tukang ketoprak di sebelah tukang nasi goreng sibuk dengan cobeknya, mengulek bawang putih, cabai, gula merah, dan gilingan kacang di cobeknya. Mas-mas penjual bubur kacang hijau pun tak kalah ramai dengan pengunjung. Wangi santannya bersaing dengan wangi bawang putih.

Tergoda Kenzo untuk membawa Keira makan di salah satu kedai itu. Namun, di sana tidak ada tukang pecel lele.

"Hei!" Tepukan di pundak mampu membuat Kenzo melompat dari jok motornya. Keira muncul di sana, memakai setelan piyama bocah berbahan katun. Kardigan putihnya yang semalam masih bernoda darah ia pakai lagi, kini noda darahnya sudah hilang. "Bengong saja. Ayo."

"Cie, Keira sudah ada boncengan!" sahut Arina dari teras.

"Arina berisik!"

"Oh, betulan dekat dengan Kenzo, toh? Kupikir cuma kemarin saja. Ya ampun, langgeng, ya, kalian," kata Nova.

Kenzo menahan tawanya ketika ia menyaksikan Keira memutar bola matanya. Pemuda itu kemudian memberikannya helm yang diselipkan di bawah joknya pada Keira. Lalu ia memakai helmnya sendiri yang ia sampirkan di kaca spion.

"Bisa?"

"Tidak. Bagaimana cara mengunci helm, sih?" Dengan kasar, Keira mengadu kedua kunci helm agar masuk. Geregetan ia karena dari tadi tidak terkunci.

"Aduh, sini."

Memerah muka Kenzo dibuatnya ketika seisi markas Senandika bersorak dan menyahut nakal. Mereka malah makin ke depan, menontoni Kenzo dan Keira dari balik pagar. Sudah dipastikan, kenaikan gajinya akan ia belikan helm full face.

"Couple goals, ya, Kei," tutur Ridwan.

"Berisik, nih, Dwan."

Kenzo mencuri pandang, melihat ke atas ke arah wajah Keira. Ya Tuhan, wajahnya memerah juga seperti stroberi.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang