ENAM

117 19 0
                                    

BELUM ada satu jam matahari terbit, tetapi hujan sudah mengguyur Jakarta sehingga matahari tertutup awan. Kenzo termenung di kasurnya, duduk bersandar pada dinding dan menarik selimutnya hingga menutupi kakinya. Ia belum ada niat untuk membuka jendela. Toh, jika dibuka pemandangannya akan sama saja. Langit mendung Jakarta membuat rumah-rumah yang terlihat dari jendela kamarnya di lantai tiga seperti tertutup kabut. Hujan deras yang mengguyur Jakarta membuat pemandangan terlihat kabur.

Bukan sebuah kebetulan Kenzo bangun sepagi ini. Hari ini memang tenggat waktu untuk mengumpulkan laporan pelanggan ke Deon, dan laporannya yang tinggal lima lagi itu belum ia buat. Namun, bukan karena laporan ia bangun pagi, melainkan karena Bunda.

Selepas argumen kemarin dengan Papa dan Mawar, Kenzo tidak mencoba untuk minta maaf pada mereka. Padahal dulu, jika Papa dan Bunda berseteru, Kenzo akan rebahan di pangkuan Bunda sambil memijit-mijit tangan Bunda.

"Bunda, kenapa Bunda dan Papa bertengkar?" tanya Kenzo. Usianya kala itu masih 12 tahun, kepalanya masih cukup kecil untuk muat di pangkuan Bunda.

Lalu Bunda akan menjawab, "Ah, bukan apa-apa. Biasalah, cuma salah paham saja."

"Salah Kenzo, ya?"

Bunda menghentikan mengusap-usap kepala Kenzo. Rambut Kenzo yang lurus jadi berantakan karenanya. "Kok, kamu bisa berpikir seperti itu?"

Kenzo mengangkat bahunya. "Tadi, kan, Kenzo pulang sekolahnya telat gara-gara Kenzo ada kerja kelompok dulu di rumah teman. Tapi Kenzo tidak izin karena ponsel Kenzo baterainya habis dan Kenzo tidak hafal nomor Bunda atau Papa. Terus, saat pulang tadi, Kenzo tidak sengaja pulang bersama Papa. Terus Papa langsung marah-marah. Katanya, 'Kenapa baru pulang? Kenapa tidak izin dulu?' Terus dimarahi."

Bunda tertawa pelan. Tangannya kembali mengusap-usap kepala Kenzo. "Papa begitu karena khawatir, Ken. Kaget dia, anak SMP kelas 7, kok, pulangnya semalam itu. Takut kenapa-kenapa."

"Tapi, kan, bisa baik-baik kasih tahunya. Tidak perlu marah-marah seperti tadi."

Dari sudut mata Kenzo, Bunda menyandarkan kepalanya di sofa. "Ya, mungkin Papa capek. Mungkin Papa habis dimarahi bosnya di kantor. Atau mungkin ada pekerjaan yang susah di kantor. Jadinya pas pulang marah-marah, deh."

"Kenzo juga capek, habis pulang sekolah ada kerja kelompok. Terus di sekolah tadi guru matematika Kenzo marah-marah ke satu kelas karena kelas berisik. Tapi, Kenzo pas pulang tidak marah-marah. Kenapa, ya, Bun, orang dewasa suka marah-marah?" Kenzo mencerocos.

"Berarti kamu bagus, dong, tidak mencontoh orang dewasa yang suka marah-marah."

Kenzo kecil terdiam. Tangannya mengurut-urut tangan Bunda. Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang salah dalam argumen petang tadi. Kenzo tidak salah karena tidak mengabarkan. Bagaimana mau mengabarkan orang rumah kalau baterai ponselnya habis? Papa juga tidak salah. Mungkin yang dikatakan Bunda ada benarnya. Mungkin Papa mengalami hari yang buruk di kantor, makanya suasana kantor terbawa ke rumah.

"Kenzo minta maaf, ya, Bun."

Bunda hanya tersenyum mendengar anak laki-lakinya berkata demikian. "Nanti kalau Papa sudah baikan, kita minta maaf ke Papa juga, ya."

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas ketika Kenzo sadar bahwa hujannya sudah tidak begitu deras lagi. Ia menyibakkan selimutnya, membereskan tempat tidurnya, kemudian mengambil handuk untuk mandi. Kenzo memulai rutinitas paginya seperti biasa. Mandi, beres-beres kamar, sarapan roti dan selai karena ia sedang malas makan nasi uduk Bu Yun, kemudian mengambil tas kerjanya. Sebelum pemuda itu keluar dari kamarnya, Kenzo melirik bingkai foto pecah yang terdapat di atas mejanya. Ia tersenyum meskipun matanya menatap nanar foto itu. Kemudian, ia keluar dari kamar. Pemuda itu hendak menuju kantor, tapi sebelum kantor, ada tempat lain yang ingin ia kunjungi.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang