DUA PULUH EMPAT

57 12 0
                                    

KEIRA menemui Kenzo di lobi apartemen. Gadis itu memakai pakaiannya yang biasa, celana panjang abu-abu dengan kaos putih dan kardigan putih yang bernoda darah tadi. Nodanya sudah agak kabur, mungkin Keira sempat membasahinya dengan air sebelum ia turun ke lobi.

"Kita tidak ke klinik, kan?" tanya Keira sesampainya ia di sofa lobi.

Senyum Kenzo merekah. Masih saja gadis itu berpikir ia akan dibawa ke klinik. "Kalau kamu mau, ayo kita ke klinik."

"Tidak mau."

"Kenapa tidak mau? Lukamu, kan, bisa sembuh lebih cepat."

Keira yang berdiri di depan pintu kaca lobi membuat pintu itu terbuka secara otomatis. Kenzo ikut berjalan keluar, merasakan udara sejuk setengah satu pagi. "Aku tidak suka kalau ada orang lain yang melihat luka-lukaku ini. Mereka pasti akan menghakimi."

"Memang sudah pernah ke sana?"

Keira mengangguk. "Ketika pertama kali aku melakukannya. Mereka bilang, 'Anak muda zaman sekarang apa, sih, yang dipikirkan sampai melukai diri sendiri seperti ini?' Terus yang satu lagi menjawab, 'Cari perhatian saja itu.' Sejak saat itu aku mulai merawat luka-lukaku sendiri."

"Aku juga kaget tiba-tiba kamu datang," lanjut Keira. "Kamu seharusnya tidak melihat luka-lukaku. Bagi orang lain, apalagi untuk mereka yang tidak pernah melakukan, aku ini menjijikan. Lenganku ini menjijikan. Jangan kira aku tidak melihatmu meringis sedari tadi."

"Aku meringis bukan karena jijik. Tapi, karena perih," bela Kenzo. "Tidak tega aku melihatmu. Memangnya tidak perih kulitmu seperti itu? Langsung kena air pula tadi."

Keira tergelak. "Perih, sih. Tapi, aku tahan. Lebih sakit dikatai pelacur oleh ibu sendiri. Luka sayatan ini, mah, kecil!"

Kenzo tidak habis pikir dengan jalan pikiran Keira. Bahkan setelah cukup lama mengenal Keira, Kenzo masih asing dengan sikapnya. Kenzo merasa mengenal orang baru setiap harinya yang mana orang baru tersebut ada di dalam tubuh yang sama. Seperti membuka ritsleting tas yang di dalamnya terdapat ritsleting lagi, dan lagi, dan lagi.

Mereka sampai di parkiran motor. Kenzo menghampiri motornya, memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci, kemudian menyalakan mesinnya. Belum juga mesin motor Kenzo menyala, Keira sudah mengusulkan hal lain.

"Kita jalan kaki saja, yuk? Sekitar sini saja," usul gadis itu.

"Tidak mau naik motor?"

Keira menggeleng. "Maunya jalan kaki. Luntang-lantung saja seperti orang mabuk pulang kerja."

"Seperti ayahnya Nobita." Kenzo tertawa.

"Seperti ayahnya Nobita."

Maka Kenzo dan Keira sepakat untuk berjalan kaki. Mereka pamit pada satpam apartemen sebelum mereka mengekspos diri mereka pada jalanan Jakarta.

Udara Jakarta pukul satu pagi rupanya sangat jernih. Tidak panas, tidak sesak, tidak berasap dan berdebu seperti keadaan Jakarta di siang hari. Langit masih memerah, bahkan makin merah dari yang tadi. Kenzo menarik napas panjang, merasakan segarnya udara masuk berebutan melalui hidungnya. Ia agak tenang meskipun hidungnya menjerit-jerit kedinginan.

Satu dua mobil lewat di hadapan mereka. Mereka pasti orang-orang lembur yang baru pulang kerja. Atau mungkin orang-orang yang bekerja shift malam yang sedang mencari makan. Tenang sekali rasanya. Tidak ada suara gerungan motor, tidak ada suara klakson mobil.

"Kalau aku lagi kalut," Kenzo memulai pembicaraan, "biasanya aku lari."

Keira mendongak, berusaha mencari mata Kenzo yang terus menatap ke depan. "Dari kenyataan? Sama saja, dong, sepertiku."

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang