TIGA PULUH TIGA

59 10 0
                                    

SIALNYA, Kenzo keluar pada pukul setengah tujuh malam. Kendaraan saling menekan klaksonnya, membuat jalanan seperti diisi oleh sekumpulan bebek. Kenzo terjebak sejauh beberapa meter hingga gang pertama. Mau menyalip pun susah karena bagaimana caranya menyalip jika kiri kanan dirinya adalah knalpot motor juga.

Pemuda itu menatap langit. Setidaknya malam ini tidak ada tanda-tanda hujan. Bila ada awan merah berkumpul saja, habis sudah Kenzo. Tidak hujan saja macet, bagaimana hujan?

Mau tidak mau, Kenzo ikut-ikutan menekan klakson. Kakinya ia turunkan, kepada aspal sepatunya menginjak. Tanpa sadar, kakinya bergoyang-goyang. Aduh, sampai kapan macet ini berakhir?

Perlahan tapi pasti, Kenzo maju. Sesekali ia berdiri, melihat apa yang menjadi penyebab kemacetan. Untungnya bukan kecelakaan. Di depannya ada perempatan dan lampu merahnya entah mengapa tidak berfungsi. Kekacauan lalu lintas terjadi di perempatan sana, mengakibatkan beberapa polisi cepek turun tangan untuk mengurai kemacetan. Sialan. Kenzo harus mencari jalan lain yang lebih lengang. Setidaknya motornya harus bisa jalan lebih dulu. Maka ia putuskan untuk mengambil jalan lewat gang di depannya.

Setelah tiga puluh menit berjalan sambil tersendat-sendat, Kenzo membelokkan motornya ke sebuah gang. Agak sempit dan penuh dengan beberapa orang lalu lalang. Masa bodoh, Kenzo terobos saja. Ia melirik jam tangannya. Sudah pukul tujuh. Pentasnya sudah mulai. Kenzo mencoba menenangkan dirinya bahwa ia bisa memesan tiket saat intermission. Semoga.

Setelah berbelok dan berputar cukup lama, Kenzo tak kunjung menemukan ujung gang. Ia tak kunjung keluar ke jalan besar. Yang tadinya lewat gang karena ingin menghindari macet, sekarang malah nyasar yang tak terhindari.

"Pak, maaf." Kenzo memberhentikan seorang bapak berpakaian koko dan sarung. Untungnya bapak itu berhenti. "Jalan besar itu ke mana, ya?"

"Mas lurus saja, dari sana nanti belok kiri. Kemudian lurus terus, sampai di perempatan kedua, belok kanan. Dari sana jangan belok-belok lagi sampai ada pertigaan, terus belok kanan. Nanti ketemu jalan besar."

"Oke, Pak. Terima kasih."

Sebenarnya Kenzo agak lupa instruksinya, tetapi tidak ada salahnya mencoba. Kenzo menancap gas lagi, berbelok ke kiri ketika bertemu belokan. Ia mengambil jalan lurus, menghitung perempatan, kemudian berbelok ke kanan di perempatan kedua. Jalannya terus lurus, selurus hidupnya—semoga—, sampai akhirnya ia bertemu pertigaan dan berbelok ke kanan. Jalan besar berada di depan sana, kurang lebih seratus meter dari gang.

Namun, Kenzo tidak tahu jalan besar yang mana ini.

Kenzo celingukan, melihat ke mana kendaraan berjalan. Ia kemudian memutar stang ke kiri, mengikuti arus kendaraan yang tak lagi padat. Dengan rambu penunjuk arah, ia mengambil jalan mana saja yang sekiranya dekat dengan daerah Cikini.

Kenzo tak tahan untuk melihat jam tangannya lagi. Sudah pukul setengah delapan. Entah apakah ia masih bisa masuk atau tidak. Pemuda itu mempercepat motornya, mengebut di antara kendaraan lain. Keterampilannya menyalip untungnya dibutuhkan dalam keadaan seperti ini. Dan untungnya lagi, jalanan tidak lagi macet.

Kenzo sampai di Teater Kecil TIM pukul delapan. Ia buru-buru memarkirkan motor di basement, kemudian berlari menaiki tangga menuju lobi. Tampak beberapa orang keluar dari sana. Rombongannya terlalu banyak untuk disebut rombongan ke toilet.

Apa pentasnya sudah selesai?

Kenzo berjalan masuk, bingung mengapa orang-orang keluar dari teater. Orang yang keluar makin banyak dan ramai, bahkan beberapa dari mereka tampak jengkel dan meminta panitia untuk tidak menahan pintu keluar. Sembari berjalan ke kerumunan, telinga Kenzo menangkap ocehan orang-orang.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang