SEPULUH

105 14 0
                                    

PENTASNYA dimulai pukul tujuh. Pada pukul enam, gerbang tiket sudah terbuka dan Kenzo bisa masuk. Masalahnya adalah jalanan Jakarta macet bukan main pada pukul lima dan Kenzo harus pulang ke kos dulu, mandi, mengganti tasnya dengan tas kecil yang hanya muat dompet dan ponsel, kemudian lanjut menembus jalanan lagi menuju Teater Kecil Taman Ismail Marzuki yang mana lokasinya jauh dari kosnya. Matang sudah Kenzo di jalan.

Sesampainya di kos, pemuda itu buru-buru melirik jam dindingnya. Masih pukul setengah enam. Masih bisa untuk siap-siap dulu. Kenzo menyambar tas selempang kecilnya, memasukkan dompet, ponsel, dan bank daya ke dalam tasnya itu. Ia kemudian masuk ke kamar mandi. Dengan terburu-buru dirinya menyalakan keran pancuran. Sabunan seadanya, sampo sekenanya, yang penting dirinya wangi, segar, dan tidak buluk seperti orang habis pulang kerja. Ia tidak boleh buluk di pentas teater pertama yang ia tonton.

Kenzo sebenarnya bukan orang yang paham akan seni pertunjukan. Ia tidak pernah menonton teater sebelumnya. Pun belum pernah datang ke konser musik meskipun ia menyukai musisinya. Apalagi menonton opera dan orkestra seperti orang kaya. Papa mengajarkan kalau datang menonton pertunjukan seperti itu hanya buang-buang uang saja. Jadi Papa tidak pernah mengizinkan Kenzo untuk mendapatkan hiburan semacam itu. Karena hal itu, Kenzo enggan minta izin untuk nonton bioskop atau pergi ke konser atau bahkan mencari tahu tentang teater, opera, dan orkestra. Toh, pikirnya, ia tidak diperbolehkan juga untuk jalan.

Kenzo keluar kamar mandi basah-basah. Ia melirik jam dindingnya lagi. Rupanya ia mandi hanya lima menit. Baguslah. Dengan hati-hati dan cepat-cepat, ia berjalan menuju lemari. Sekarang ia sadar, meskipun mandinya hanya lima menit, rupanya mencari baju yang cocok bisa lebih dari lima menit. Orang-orang kalau nonton teater pakai baju apa, sih? Apa kaus dan jin cocok? Atau kemeja dan jin saja, ya? Ah, seperti biasa saja, deh.

Kenzo menarik kemeja flanel tebal berwarna biru krem dari lemari atas, kemudian menarik kaus hitam polos dari lemari bawahnya. Masa bodoh dengan baju yang berhamburan di lemari, bisa ia bereskan nanti. Ia kenakan kemeja flanelnya di atas kaus hitamnya, sebagai luaran. Tak lupa, pemuda itu menyambar celana jin yang tadi ia pakai ke kantor dari kasurnya. Setelah semua baju tersematkan, ia berjalan ke arah cermin. Kenzo mengambil sisir, kemudian menyisir rapi rambutnya yang masih setengah basah itu. Ia kebelakangi rambutnya, kemudian membiarkannya jatuh begitu saja dengan belahan pinggirnya. Kenzo tidak repot-repot menunggu rambutnya kering. Toh, nanti di jalan rambutnya akan kering juga.

Sebagai tambahan, Kenzo menyemprotkan parfum ke leher dan pergelangan tangannya. Sedikit saja, yang penting ada wangi-wanginya. Ia kemudian menyemprotkan parfum rambut ke rambutnya secara acak. Ya, setidaknya ada wanginya. Setelah rapi dan wangi, Kenzo menyambar tas selempangnya, kunci motor, dan jam tangan, kemudian berlari menuju motornya di parkiran bawah.

Pemuda itu menyalakan motor kemudian memakai helm. Sebelum jalan, Kenzo sempat melihat jarum panjang jam tangannya berada di angka sepuluh dan jarum pendeknya berada di angka enam. Baguslah, masih ada waktu satu jam lebih untuk menembus jalanan Jakarta saat pulang kantor. Mudah-mudahan sampai sana ia tidak bau dan buluk.

Belum sampai Kenzo ke jalan besar, tetapi ponselnya sudah bertingkah. Di perutnya, ia bisa merasakan getaran dua kali dari ponselnya. Itu pasti Dania yang memintanya untuk cepat-cepat datang karena gerbang tiket sebentar lagi dibuka. Bisa mati Kenzo kalau sampai telat. Ia tidak bisa menonton teater dan kemungkinan besar Dania akan memberinya ulasan buruk. Bisa gawat karir Kenzo kalau begini jadinya.

Kenzo menambah kecepatan motornya. Ia membelok-belokkan stang, membuat motornya melaju ke kiri dan ke kanan di antara kendaraan lain, seperti Valentino Rossi. Tasnya ikut bergerak-gerak ke samping kiri dan kanan. Setengah berdoa setengah fokus menyetir, ia berharap tasnya tidak tiba-tiba jebol dan isinya keluar berhamburan di jalan. Jalanan mulai gelap. Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Kendaraan lain pun ikut menyalakan lampu depan mereka, tak terkecuali Kenzo.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang