TIGA PULUH LIMA

75 9 0
                                    

HUJAN menghiasi Jakarta tatkala Kenzo bersanding dengan Aryo di kursi penumpang depan di mobil Aryo. Rindang dan Ibu Keira menemani Keira di ambulans. Mereka konvoi menuju TPU Joglo di bilangan Jakarta Barat. Keira sudah dimandikan. Sudah berada di dalam peti juga.

Kenzo dan Aryo tidak mengobrol selama perjalanan. Mereka berdiam-diaman seperti kambing bisu. Kenzo tidak tertarik untuk mengajak ngobrol Aryo, pun Aryo mengajak Kenzo mengobrol. Rasanya, awan mendung yang berarak lebih menarik untuk diperhatikan.

Ponsel Kenzo terus-terusan bergetar. Entah itu telepon atau notifikasi pesan singkat, semuanya masuk. Dari rekan-rekan Nirtunggal, dari teman-teman Senandika, dari Dania di aplikasi Nirtunggal juga.

Juga dari istri baru Papa.

"Diangkat dulu, itu ada yang telepon," kata Aryo. Nada suaranya terdengar seperti menyuruh alih-alih membujuk.

Kenzo menghela napas, memutuskan mengangkat telepon Mawar terlebih dahulu. "Halo?"

"Kamu di mana? Keira bagaimana?"

Kaget Kenzo mendengar hal itu. Mawar bisa bertanya demikian? Di luar nalar. Dari mana ia tahu kabar Keira? Pasti salah satu pers itu.

"Di mobil mau ke pemakaman," jawab Kenzo.

"Dimakamkan di mana?"

"TPU Joglo."

"Mama ke sana sekarang, ya."

Kenzo mengiakan. Kemudian Kenzo menutup telepon untuk mengangkat telepon yang lain.

Dari bosnya.

Suara Deon dari telepon terdengar cemas dan putus-putus. Mungkin karena hujan mulai deras jadi sinyal pun ikutan menurun kualitasnya. Kenzo juga dapat mendengar suara yang lain seperti Bu Gaya dan Livy yang terdengar sama cemasnya dengan Deon. Mereka bertanya mengenai kabar Keira. Apakah benar yang di berita itu Keira? Kenzo mengiakan. Pemuda itu kemudian langsung menyerocos.

"Maaf, Pak, saya tadi tidak pamit dulu. Saya panik, jadi saya langsung ke apartemen Keira tadi. Kalau saya boleh minta tolong, saya minta tolong agar kunci kantor diletakkan di tempat biasa saja. Nanti kalau pemakaman sudah selesai, saya ambil sendiri barang-barang saya ke sana," ujarnya setenang mungkin.

"Ken, jangan pikirkan soal kantor. Tidak apa-apa, kami paham kamu panik," jawab Deon.

"Ken, nanti Bu Gaya yang handle pekerjaan kamu sampai akhir pekan ini, ya. Kamu istirahat saja sampai akhir pekan ini. Biar kamu tenang dulu. Tidak usah pikirkan kerja. Kalau butuh apa-apa, kamu bisa hubungi kami, oke? Situasi ini pasti berat buat kamu, jadi pikirkan dirimu dulu, ya?" Bu Gaya kemudian menimpali. Suaranya terdengar agak jauh.

"Bisa, Ken?" tanya Deon lagi seolah ingin memastikan.

Kenzo mengangguk kemudian menjawab dengan setengah berbisik. "Bisa."

Kenzo kemudian mendengar Livy bertanya di mana Keira dimakamkan. Rekan-rekan kerjanya berkata bahwa mereka janji akan datang ke pemakaman walaupun di luar begitu mendung dan merah. Deon memberikannya cuti sampai akhir pekan untuk membiarkan Kenzo berduka beberapa hari dulu. Si bos menyarankan agar Kenzo menonaktifkan aplikasi Nirtunggalnya agar tidak ada pelanggan yang bisa menyewa jasanya.

Dunia seperti berputar di sekelilingnya. Dan dunia memang sedang berputar di hadapannya. Dunia yang Kenzo tinggali masih sama normalnya seperti hari-hari sebelumnya saat Keira masih ada. Orang-orang pulang bekerja, anak-anak masih berlarian bermain ke sana-ke mari. Hujan masih turun dengan normal seperti yang sudah diramalkan. Kendaraan masih berjalan menembus macet di malam hari ini. Seperti tidak ada yang peduli apa yang dirasakan Kenzo karena memang dunia senormal itu meskipun Kenzo kehilangan Keira.

Nirtunggal [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang