8

22.9K 2.4K 52
                                    

NOTE: EKSTRA GENRENYA SALAH SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! SILAKAN MAMPIR. HEHEHEHE. Oh tenang saja, POV Hana—cerita utama—tetap akan saya terbitkan sampai tamat di sini kok. Terima kasih.

***

Sulit berkonsentrasi. Entah berapa menit aku mengamati potret Ella Soraya yang terpampang di laman pencarian internet. Sekadar berusaha mencari inspirasi. Mataku sampai panas dan kepala pusing karena terlalu lama membungkuk di atas ponsel. Di samping ponsel tergeletak selembar kertas putih berukuran A4. Kosong. Melompong. Seolah meneriaki diriku agar cepat kerja dan lanjut ke tugas berikutnya. Kertas dan pensil yang menanti sentuhanku. Pasangan sempurna, bukti betapa selooownya diriku dalam bekerja!

Seharusnya saat ini aku mulai membuat sketsa kasar. Namun, ide langsung kabur begitu melihat betapa sempurna Ella Soraya. Apa sih yang tidak dia miliki? Alih-alih meraih pensil, jemariku justru sibuk menggulir layar ponsel! Lanjut mengamati Ella Soraya dalam berbagai pose dan pakaian; gaun merah ala vampir seksi, bikini ala musim panas, rok ketat dan atasan terbuka ... aku tidak bisa berkutik.

“Ketimpangan sosial macam apa ini?!” gerutuku sembari menutup laman pencarian. “Ya tahu nggak boleh iri, tapi ini keterlaluan!”

Aku mendongak, menatap jam dinding berbentuk kucing yang tengah menggerlung. Pukul sembilan pagi! Itu artinya aku sudah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit?! Menghabiskan waktu mengamati Ella Soraya saja?

Bruuuuh!

Lekas aku bangkit dan mengempaskan diri ke ranjang. Berguling-guling, memukul bantal, lalu lanjut dengan acara rebahan yang tidak menghasilkan uang sama sekali.

Ketika bekerja aku memilih mengenakan pakaian santai. Celana pendek, kaos ukuran XL, dan mencepol rambut. Masa bodoh dengan kesan imut! Aku tidak peduli! Bahkan suami-yang-sebentar-lagi-menjadi-mantanku itu boleh melihat diriku dalam versi berantakan!

Oh ya, aku lupa. Ivan tidak ada di rumah. Dia di kantor.

Bila kebiasaan burukku ini berlangsung lebih daripada seharusnya, maka pekerjaanku bisa terbengkalai! Alamat aku dipecat oleh tim!

Demi mempertahankan pekerjaan, aku pun memaksa diri kembali ke kursi. Kali ini kuputuskan fokus ke deskripsi yang ditulis Vera, versi skenario. Kuabaikan Ella Soraya si seksi, memusatkan pikiran terhadap dialog, dan tidak lama kemudian aku bisa kembali berfungsi secara normal.

Lima karakter sudah selesai kubuat, tinggal Ella saja.

Berhubung aku telah membulatkan tekad, maka penilaianku terhadap Ella pun mengikuti deskripsi Vera. Aku tidak lagi mengalami ide buntu. Lancar jaya.

Ketika jam menunjukkan pukul setengah dua belas, pekerjaanku hampir tuntas. Semua sketsa kasar telah berhasil kurumuskan. Nanti malam aku bisa berjibaku dengan komik Milo, lalu besok ... lingkaran perbudakan kapitalis ini ternyata masih berlanjut bahkan di kehidupan keduaku!

“...”

Oleh karena itu, aku mengistirahatkan diri. Sekali lagi mulai melakukan olahraga ringan: goyang pinggul kanan dan kiri, usir encok, dan semoga saja aku tidak kena penyakit otot!

Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu dan mendapati salah satu pelayan, seorang wanita paruh baya, berkata kepadaku, “Tuan bilang Nyonya harus mengurangi makanan manis.” Dia membawa nampan berisi semangkuk beri dan segelas air putih.

Aku menerima nampan tersebut, mengucapkan terima kasih.

Pelayan meninggalkanku sendirian dengan pekerjaan.

Kuletakkan nampan di meja. Bermacam beri tampak menggiurkan. Apa salahnya makan? Setelah menandaskan setengah isi mangkuk, aku langsung menyambar ponsel yang berdering nyaring—menginformasikan ada pesan masuk.

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang