9

21.1K 2.2K 22
                                    

Susah payah aku mengerjakan ilustrasi plus kover. Itu belum termasuk tugas tambahan seperti mendesain tiket beserta bonus. Semua kukerjakan dengan serius dan seratus persen profesional! Lantas mengapa, sekali lagi, mengapa ketika tiba hari H—pemutaran perdana film—dan acara makan malam bersama justru aku sakit bulanan?!

“Aaaagh,” keluhku seakan nyawaku tinggal setengah. Terbaring di ranjang, menggerlung mirip trenggiling, dan mulai meratapi nasib.

Perutku. Kram. Sakit. Luar. Biasa.

Air mata mengumpul di pelupuk mata, siap tumpah. Aku sempat melirik jam di dinding. Tinggal lima menit lagi tepat pukul tujuh malam. Tidak ada waktu. Sekalipun aku ingin memerintah tubuh, bergerak ke kamar mandi dan lekas bersiap, tapi rasa sakit jauh lebih kuat daripada kehendak hati!

“Uaaaa,” ratapku sembari mencengkeram bantal.

Mengapa jadi begini? Tidak biasanya aku sakit ketika datang bulan. Jarang. Hal semacam itu, sakit, hanya terjadi ketika aku sedang sangat stres. Akhir-akhir ini, kan, aku hanya memikirkan mengenai kesempatan melihat secara langsung pertemuan antara Ella Soraya dan Ivan. Hanya itu saja. Mana mungkin pikiranku menganggapnya sebagai beban muatan batin? Lantas yang menerima dampak paling hebat dari kerusakan tersebut ialah, perutku!

Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi.

Sedikit lagi.... Aku bisa memastikan kebenarannya!

Keringat bermunculan di kening, leher, dan rasa-rasanya aku juga mual—ingin muntah, howek!

“Na?”

Entah semenjak kapan Ivan sudah ada di dekatku. Dia duduk di ranjang, di dekat kepalaku dan oh wajahku sedang menampilkan ekspresi sekarat. Aku ingin mengusirnya, menjauhkan dirinya dari trauma menyaksikan perang batin ketika cewek datang bulan. Namun, yang keluar dari mulutku hanyalah ratapan anak tiri. Sakit!

“Ayo kita ke rumah sakit?” bujuknya sembari membelai pelipisku. “Kamu butuh bantuan.”

“Ta-tapi, aku belum mengabari tim bahwa malam ini nggak bisa datang ke pemutaran perdana-aaa!”

Ucapanku terpotong oleh nyeri kram. Ah sakit! Rasanya seolah ada ular tengah melilit perut dan menancapkan taring ke ususku!

“Hana, aku sudah menghubungi mereka. Kamu nggak perlu cemas.”

Sejak kapan Ivan tahu nomor kontak pemimpin proyek apalah?

Tunggu ... rumah sakit? Hell no! Aku butuh ramuan lain!

Kuraih tangan Ivan yang tengah membelai pelipisku, kutempelkan telapak tangannya di pipiku, dan mulai mengajukan permohonan.

“Ivan, aku nggak butuh dokter. Cukup jamu! Dulu Mama juga sering ngasih aku jamu.” Sempurna. Air mataku telanjur menetes. Sekarang aku pasti terlihat sangat menyedihkan. “Kunyit dan madu. Aku hanya butuh dua itu.”

Sebenarnya ada ramuan lain yang bisa digunakan seperti rebusan air yang dicampur dengan gula merah. Namun, itu tidak manjur pada kasusku. Selalu kunyit. Kunyit asam! Tamarin!

“Kamu yakin?” Ivan membiarkanku mencengkeram dan membenamkan kuku ke kulitnya. Anehnya, dia tidak protes. “Tunggu ya.”

Tidak lama kemudian Ivan datang dengan secangkir kunyit dan madu. Aku langsung meminumnya sampai tandas. Butuh beberapa menit hingga sensai mulas menyakitkan itu lenyap, membiarkanku bernapas dengan lega.

Keringat mulai surut dan aku sepertinya sudah lepas dari jerat monster bulanan! Ah tolong biarkan aku bebas dari nyeri perut kala otak harus bekerja memeras ide dan ... mencoba memikirkan mengenai uang?

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang