35

16.8K 1.9K 43
                                    

NOTE: GENRENYA SALAH EKSTRA EPISODE SEPULUH SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! :”) Saya cicil pelan-pelan remahan spoiler di sana.

***

Setelah menikmati pemandangan pantai di malam hari, kami memutuskan kembali ke hotel.

“Kamu nggak boleh nakal,” aku memperingatkan. “Nggak ada acara terkam!”

Sekalipun aku ingin menyerang Ivan, tapi tubuhku tidak bisa diajak kompromi! Terkutuklah penulis yang tidak bersedia menjelaskan kekuatan Ivan secara detail! Kupikir sama saja seperti bacaan yang selama ini kukonsumsi, ternyata beda! Kupikir kucing, ternyata macan! Sial! Aku mau uang ganti rugi!

Kemarin malam rasanya aku jadi panekuk! Oh bukan panekuk, melainkan kue apam! Bolak-balik, kanan-kiri, entah selatan atau timur! Sial! Aku sama sekali tidak memiliki kesempatan membalas! Otakku meleleh, tubuhku seolah bukan milikku, dan tenagaku lenyap! Apa dia iblis? Semudah itu Ivan menyerap kuota energi hidupku! Cih rasanya ingin kubalas! Aku maunya menjadi penyerang, bukan yang diserang! Cih! Cih! Cih!

“Oke,” sahut Ivan sembari terkekeh.

Untung Ivan menepati janji. Semalaman dia tidak melakukan apa pun. Saat dia bersikap seperti itu, manis dan lembut, gambaran pria ganas yang membuatku kelabakan semalaman langsung buyar. Benar! Ivan yang kusuka adalah yang jinak, bukan ganas! Hanya aku yang boleh ganas!

Hehehe di kesempatan berikutnya akan kubalas! Pasti akan kubalas! Akan kubuat dia merasakan encok dan capek! Pokoknya aku harus jadi penyerang, predator, pemburu! Hahahaha-oh pinggangku. Sakit.

***

Esoknya Ivan mengajakku berkunjung ke salah satu sanggar seni. Di sana kami bisa melihat anak-anak menari. Mereka mengenakan pakaian tradisional berupa kain tenun. Kepala dihias untaian bunga melati dan mawar. Ada satu anak perempuan yang mungkin berusia sekitar enam tahun. Anak itu berusaha menirukan gerakan anak-anak lain yang sedang berlatih. Berdiri tidak jauh dari kelompok penari, goyang ke kanan dan kiri, lalu berputar.

“Ivan, lihat-lihat. Dia mirip tokoh anak-anak yang ada di cerita Milo.”

Aku dan Ivan duduk di bangku yang memang disediakan untuk pengunjung. Beberapa orang mulai mengabadikan momen tersebut melalui video maupun foto. Aku sempat mengambil beberapa potret si gemas itu. Inginnya kupamerkan di media sosial, tapi ingat bahwa hal tersebut—pamer foto anak-anak—seharusnya kulakukan setelah mendapat izin dari orangtua yang bersangkutan.

“Mirip,” Ivan mengakui.

“Kamu baca ceritaku sampai tuntas?” Tidak kusangka suamiku ternyata amat berdedikasi kepada istrinya. Hehe jadi tersanjung. “Sayang, jangan manis begini. Nanti aku jadi ingin menggigitmu.”

Ivan tidak membalas. Dia hanya menaikkan satu alis dan memasang senyum menantang.

“...” Tolong! Rasanya Ivan sedang mengejekku. Dia pasti menunggu aksiku! Oh tenang saja. Setelah pinggang dan pahaku pulih, akan kuserang dia habis-habisan! Tidak akan ada kata ampun dan maaf. Pembalasan harus dilancarkan secara saksama! Fighting!

Setelah menonton anak menari, Ivan mengajakku mengunjungi area lain. Di depan rumah yang mengingatkanku pada rumah panggung, beberapa pria dan perempuan yang mengenakan pakaian tradisional sibuk menghias payung. Bukan sembarang payung, melainkan payung yang terbuat dari kertas. Mereka mengecat dan melukis payung. Bunga, burung, kupu-kupu. Pokoknya ada bermacam gambar yang terpampang di setiap payung.

Aku membeli beberapa payung. Rencananya akan kuberikan kepada Papa, Adriana, Vera, editorku yang cerewet, dan mungkin Nancy. Khusus Nancy aku perlu bertanya terlebih dahulu. Berhubung dia kadang tidak menetap di tanah air dan sibuk mondar-mandir di panggung, memamerkan baju, pemberitahuan sepertinya tidak berlebihan.

Perjalanan terus berlanjut. Ivan menggiringku ke pengerajin perhiasan. Gelang dari kerang, jepit mutiara, bahkan kalung yang dirajut dari serat pohon. Semua tampak indah dan membuatku gelap mata. Kali ini aku memborong beberapa barang yang tentu saja akan kubagikan kepada sahabat dan oh tidak ada buruknya membuat give away bagi pembacaku. Biar editorku saja yang mengurus! Beres!

“Hana, mau mampir ke pengerajin kain?”

Tawaran Ivan tidak boleh kutolak! Wajib diterima dengan sesegera mungkin!

Aku tidak perlu cemas Ivan akan kewalahan membawa belanjaan. Dia telah memberitahukan kepada penjual agar mengirim barang ke hotel. Pintar! Iya, pintar. Kan dia bayar ekstra biaya kirim!

“Masih kuat?”

Andai Ivan melontarkan pertanyaan itu di kamar, aku pasti mengira dia sedang berusaha mengajakku berperang! Berhubung kami sekarang berada di area pantai, tepatnya di semacam trotoar, aku empaskan ide tersebut dari kepalaku.

“Kenapa?”

Ivan menunjuk persewaan sepeda.

... sekali lagi aku perlu mempertanyakan stamina Ivan! Bagaimana dia bisa sekuat ini? Setelah menemaniku berkeliling, sekalipun naik kendaraan, lantas sekarang justru dia mengayuh sepeda seolah cadangan energi di tubuhnya tidak terhingga!

Ivan sama sekali tidak mengeluh. Dia terus mengayuh, memboncengku, dan mengarahkan sepeda ke area teduh.

Aku melingkarkan tangan di pinggang Ivan. Angin bertiup lembut, mengibarkan rambutku yang tergerai bebas. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami pun tersenyum. Mungkin mereka senang melihat kebahagiaan kami. Duh rasanya ingin selamanya seperti ini. Tidak perlu ada masalah. Aku maunya masalah tidak usah mendatangiku hiks.

Sepeda berhenti melaju ketika kami berada di dekat dermaga. Aku turun, membiarkan Ivan memarkirkan sepeda di dekat bangku kayu. Matahari mulai lengser, memamerkan langit keemasan dan laut yang seakan hendak menelan matahari.

“Indah,” aku memuji.

Ivan meraih tanganku, menarikku mendekat. “Kamu senang?”

Aku mengangguk, masih terpukau dengan laut. “Sepertinya menulis cerita mengenai duyung yang jatuh hati kepada seorang nelayan tidak terlalu buruk.”

Kali ini Ivan melingkarkan tangan di pinggangku. Dia mendekapku, menghujani wajahku dengan kecupan lembut. “Tolong biarkan aku yang jadi duyung.”

Sontak aku terbahak. Selama ini aku sering membaca cerita mengenai duyung perempuan. Biasanya selalu berakhir dengan adegan keduanya—si manusia dan wanita duyung—mati, dilempar ke laut, dan berubah jadi bunga. Namun, pria duyung?

“Ivan, kamu nggak cocok jadi duyung!”

“Kamu, kan, belum mencoba menulisnya.”

Aku menggeleng. “Siren lebih sesuai untukmu.”

Uhuk siren penggoda yang menjebak manusia ke dalam sihir. Hmmm sepertinya aku pernah membaca novel fantasi mengenai pangeran siren yang memerangkan putri nelayan dalam uhuk. Maafkan aku yang hobi membaca novel XXX. Namun, tenang saja. Siren dan putri nelayan berakhir bahagia dan melanjutkan XXX lalu XXX dan XXX. Hmmm tidak perlu kubagi detail ceritanya.

“Maksudmu aku seperti makhluk laut yang gemar menenggelamkan kapal manusia?” Ivan mengusap keningku menggunakan ibu jari. “Apa aku memang mirip makhluk semacam itu?”

“Kamu, kan, menawan dan amat menggoda,” aku membela diri. “Siren penghuni laut yang amat cantik dan rupawan. Kamu seharusnya baca novel mengenai siren yang berhasil menjerat kesatria.”

“Maksudmu Sihir Laut?” Ivan menyebut judul novel dewasa yang selama ini tersembunyi di rak buku milikku. “Aku sudah baca dan isinya lumayan mencerahkan. Penulisnya sangat pintar menggambarkan asmara panas dua makhluk beda alam, ya?”

“...” Tolooooooong! Suamiku membaca koleksi novel dewasaku! Aku mau tenggelam saja! Waaaa!

***
Selesai ditulis pada 17 September 2023.

***
Semoga kalian sukaaaaaaa!

Hehehehehehehehe.

Jangan lupa jaga kesehatan. Bagi yang sering lembur dan perlu konsumsi kopi ... Sayangku, makan ya? Jangan lupa makan! :”( Nanti perutnya sakit. Oke?

Salam cinta dan kasih sayaaaang.

Loveeee!

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang