34

16.8K 1.9K 68
                                    

Seharusnya akulah yang menggigit. Aku! Aku, bukan Ivan!

Praktik di lapangan ternyata berbeda dengan teori. Apa pun yang pernah kubaca di novel maupun komik, sebagian “kecil” benar sementara yang lain secara “garis besar” salah!

Iya, Ivan memang seganas yang penulis gambarkan dalam novel. Jangan tanya! Pokoknya jangan tanya caraku bertahan tetap bisa bernapas selama prosesnya. Bagaimana bisa Ivan menyembunyikan taringnya di hadapanku selama ini? Kupikir dia selama ini jinak karena aku tidak memiliki tubuh seseksi Juvia! Aku tertipu!

Tidak, aku tidak memiliki kesempatan balas menyerang! Sialan! Aku ingin mengamuk! Bukan ini yang kurencanakan! Seharusnya aku yang menyerang Ivan terlebih dahulu! Harus aku dulu yang menyerang. Bagaimanapun juga rencana yang tersusun di otakku ialah, aku yang menggigit. Aku! Mengapa aku yang digigit Ivan? Cih kecewa!

Lupakan balas dendam. Aku capek! Biarkan aku tidur sampai siang. Koreksi, tidur sampai sore! Kompensasi bagi energi yang terkuras.

Itulah yang kulakukan. Bermalas-malasan di kamar sampai siang menjelang. Oke, aku mengaku. Aku bangun kesiangan. Untung ketika mataku terbuka, tidak kutemukan Ivan di mana pun.

Canggung woey! Aku bingung nanti harus mengatakan ucapan penyemangat atau pujiankah? “Kamu hebat, Darling!” No! BIG NO! Bukankah itu sama saja dengan menyemangati Ivan ke ronde selanjutnya? Notabene pinggangku encok! Sialan! Ke mana perginya semua energi hidupku?

Oleh karena itu, kuputuskan langsung mandi. Hanya ketika air hangat membasuh kulit, aku merasa sedikit lebih baik. Dalam otak mulai kurencakan pembalasan dendam. Ivan harus merasakan pembalasanku! Humph!

“Sakit!” teriakku ketika rasa nyeri menekan kedua pahaku saat hendak berendam di bathtub.

Mundur! Rencana balas dendam harus kutunda! Kondisi fisik tidak memenuhi kriteria pertempuran!

“Ivaaaan!”

***

“Ayolah, Hana. Maaf.”

Ivan duduk di sampingku, sibuk membujukku. Sekarang kami sedang berada di depan televisi yang menyiarkan acara mengenai pendakian gunung. Beberapa kali layar televisi menampilkan pemandangan hutan hijau; pepohonan berdaun tebal, tanah dihiasi tumpukan daun dan tangkai basah, kemudian terdengar suara serangga musim panas. Dalam keadaan biasa, ketika pahaku tidak “nyut-nyut”, maka aku akan mengamati pendakian sampai tuntas. Namun, sekarang....

“Apa masih sakit?” tanyanya sembari memelukku. “Lain kali aku akan berusaha menahan diri.”

Menahan diri? Oh ya? Katakan itu kepada paha dan pinggangku!

“Hana, maaf.”

“Hmph,” aku mendengus.

“Apa kita perlu ke dokter?”

Kali ini ubun-ubunku pasti meledak, meletupkan emosi yang sedari tadi kutahan. Aku menatap Ivan dan memastikan ekspresi di wajahku terlihat galak.

“Aku maunya yang menyerang!” protesku, tidak terima.

“...”

“Padahal aku sudah merencanakan dirikulah yang menyerang,” gerutuku, kesal. “Rasanya menyebalkan.”

“Oke.” Ivan membelai kepalaku dan menghadiahinya dengan kecupan singkat. “Lain kali aku akan mengalah. Kamu boleh menyerang duluan. Oke?”

“Janji?”

Ivan terbatuk. Ujung bibirnya berkedut dan kupikir dia sedang berusaha tidak menertawakanku. “Janji,” sahutnya.

Awas saja kalau tidak menepati janji. Aku pasti akan membalas! Akan kuserang Ivan ketika dia lengah! Huhuhu.

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang