29

16.4K 2K 32
                                    

Entah apa jadinya andai kami tidak berada di rumah mertuaku? Barangkali sesuatu yang membuat kakiku meleleh, lemas, dan membuatku tidak berkutik akan berlangsung.

Aku tidak keberatan melangkah ke jenjang selanjutnya. Serius! Hanya saja Ivan sepertinya memiliki pertimbangan lain. Begitu aku membenamkan wajah, menyembunyikan semburat merah di pipiku dengan tangan, dia langsung mengajakku keluar dari kamarnya.

“Maaf,” kata Ivan. Dia membelai kepalaku seolah aku seekor kucing yang sedang ketakutan. “Lain kali aku akan menahan diri agar nggak berbuat keterlaluan.”

Jantungku seolah akan meletus seperti balon yang ditusuk jarum. Apa pun yang sempat membara dalam diriku langsung padam, berganti kekecewaan. Bagaimana bila Ivan mengira aku tidak sudi disentuh olehnya? Tidak! Jangan sampai terjadi!

“Ivan,” panggilku ketika kami sudah berada di depan pintu kamarnya, “aku nggak takut. Eh maksudku, aku nggak keberatan kalau kita melakukan ‘itu’ kok.” Berbanding terbalik dengan semangatku, wajahku kembali memanas. Aku menunduk, menatap lantai seakan di sana ada lubang yang bisa kumasuki. “Tadi aku belum siap secara mental.” Kutarik lengan baju Ivan seolah sedang berusaha menarik nomor keberuntungan. “Begitu ... pokoknya tolong jangan mengira aku nggak mau.”

Sekian detik berlangsung dalam keheningan. Beberapa detik penantian yang terasa seperti selamanya. Aku bisa mendengar suara degup jantung milikku yang bertalu hebat, menggedor rongga dada, membuatku merasa semakin lemas. Butuh segenap kekuatan agar kakiku tidak berubah jadi jeli. Aku berusaha keras agar tetap berdiri, kokoh, layaknya sebatang pohon angker penunggu hutan keramat.

Setelah sekian detik yang menyiksa itu, kudengar suara embusan napas Ivan. Dia tidak memaksaku menatap kedua matanya, seperti yang selalu ditayangkan dalam drama percintaan. Yang terjadi selanjutnya ialah, dia memelukku, meletakkan dagunya di puncak kepalaku, dan membiarkan diriku bersandar dalam dekapannya.

“Maaf telah membuatmu salah sangka, ya?” katanya dengan nada suara yang amat lembut. “Lain kali aku akan melihat kondisi dan situasi sebelum melakukan sesuatu yang bisa membuatmu bersembunyi seperti seekor kelinci lari dari rubah.”

Aku ingin mengoreksi: “Ivan, kamu bukan rubah. Kamu tuh serigala.” Hanya saja aroma tubuh Ivan telanjur meracuni pikiranku. Aku tidak bisa memikirkan apa pun selain mempercayakan diriku kepadanya.

“Kamu pikir aku mirip kelinci?” tanyaku, tidak kuasa menahan dorongan untuk tertawa.

Kelinci? Aku? Tidak ada mirip-miripnya. Kelinci makhluk yang gesit dan lincah. Aku lebih mirip kucing pemalas yang hanya suka menikmati kenyamanan. Jenis kucing yang mendapat pelayanan dari manusia hingga naluri berburunya lenyap. Nah aku kucing yang seperti itu.

“Mirip,” kata Ivan, menepuk pelan bahuku, “sama manisnya.”

Oke. Lebih baik aku berhenti bicara karena sepertinya sirkuit otakku mengalami korsleting.

Ukh!

***

Di suatu siang yang terik, ketika aku sibuk membaca manga dewasa mengenai CEO yang memonopoli kekasihnya ... singkatnya, aku mendengar kabar mengenai reuni. Bukan untuk Ivan, melainkan reuni SMA-ku. Acaranya diselenggarakan di suatu klub. Konon salah seorang alumni yang terkaya di antara kami, angkatan SMA-ku, memutuskan tempat itu sebagai tempat pertemuan.

Aku ingin melihat anak-anak yang dulu membuatku merasa amat bersemangat menjalani sekolah. Berbeda dengan pengalaman hidup pertamaku sebagai pelajar, dunia Hana jauh lebih baik daripada milikku. Tidak ada pramuka, tidak perlu ikut PMR, tidak harus memanggang diri sendiri di tengah siraman matahari terik hari Jumat! Aku suka!

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang