15

20.4K 2.2K 25
                                    

Ella Soraya seperti jamur di musim hujan. Tumbuh subur. Aku sampai jengah. Bosan! Bayangkan ketika aku menyalakan televisi, bermaksud menonton drama romantis, dan hanya bisa membisu ketika menyaksikan tayangan gosip. Iya, pembawa acaranya memberitakan mengenai Ella Soraya yang sepertinya tengah dilanda asmara terlarang. Akhirnya semangat menontonku lenyap.

Tidak sampai di situ, di televisi! Saat aku membuka salah satu aplikasi baca, mendadak bagian iklan menampilkan Ella Soraya. Berbeda dengan televisi, yang satu ini memamerkan Ella Soraya dalam balutan pakaian seksi. Dia tersenyum, sangat percaya diri, dan menawarkan produk parfum.

“...”

Mengapa rasanya aku seperti sedang dihantui, sih?

Pantang menyerah. Akhirnya aku membuka aplikasi musik dan bermaksud menonton grup idol kesayanganku. Lagi-lagi aku menemukan Ella Soraya! Bagaimana bisa dia ada di mana-mana?!

Andai aku tidak menerima pelototan Ella Soraya, maka pasti kupikir dia wanita seksi berwawasan luas dan memiliki kepribadian baik. Ternyata aku salah! Salah besar! Dia tidak seperti yang selama ini kuduga!

Kupejamkan mata, mencoba memadamkan kedongkolan dalam diriku.

“Mengapa aku jadi teringat masa lalu?”

***

Tepatnya, aku teringat pengalamanku ketika duduk di bangku SMA. Orang bilang masa remaja, terutama SMA, merupakan puncak kebahagiaan. Lantas mengapa masa SMA milikku hanya dipenuhi oleh air mata dan kekecewaan? Tidak ada yang pernah menasihatiku bahwa agar bisa diterima dalam suatu kelompok, maka setidaknya aku harus memenuhi kriteria mereka.

Satu, seragam harus memenuhi standar gaul. Rok ketat, kaus kaki putih bersih (sekalian baru saja), sepatu bermerek, rambut lurus, wajah putih (tidak masalah sekalipun kulit badan berwarna gelap), bibir sehat (alias, tidak terjangkit bibir pecah-pecah).

Dua, harus punya uang saku dan jangan sampai absen ke kantin tempat senior keren berkumpul.

Tiga, naik motor. Motor gaul. Apalagi buatan Jepang. Produk itu menjadi penguasa elite yang memperlihatkan betapa gaul seseorang di sekolah.

... dan aku tidak memenuhi semua kriteria itu. Cewek-cewek gaul di kelasku selalu menjadikanku bahan olok-olokkan. Meskipun aku hanya diam, berusaha menghilangkan keberadaan, tetap saja hidung mereka bisa mengendus eksistensiku—kemudian permainan yang sama dilakukan berkali-kali.

Aku memiliki nama yang baik. Namun, mereka memanggilku dengan julukan yang sama sekali tidak enak didengar olehku. Bila aku menyuarakan keberatan, mereka akan berkata, “Kan cuma bercanda. Masa kamu nggak paham, sih?” Selalu alasan yang sama. Bercanda.

Apa asyiknya tertawa di atas penderitaanku? Begitu kerenkah menertawakan diriku? Apa susahnya memanggil nama depanku? Apa menyebut namaku bisa membuat mereka turun derajat sebagai manusia?

Benar-benar konyol.

***

Kuhela napas dan mengembuskannya secara perlahan.

Sekarang aku tidak hidup di Indonesia. Aku bukan cewek yang tidak bisa melindungi diriku sendiri. Ella Soraya bisa saja mempermainkan siapa pun, tapi Ivan....

Ivan berjanji akan menjagaku. Dia berjanji tidak akan menyakiti diriku. Setidaknya itu cukup bagiku. Sekalipun cinta dalam diri Ivan belum tentu jadi milikku, setidaknya aku akan menikmati semua fasilitas Gauthier!

Energi dalam diriku kembali terisi. Penuh! Aku pun mengabaikan segala hal yang berhubungan dengan Ella Soraya dan bergegas menuju dapur. Minggu adalah hari yang sebaiknya digunakan dengan cara: makan es krim!

GENRENYA SALAH! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang