Aku senang menerima tawaran Ivan. Makan malam berdua! Oh dan yang terpenting: gratis! Berhubung dia ngotot menanyakan tempat yang ingin kukunjungi, maka dengan pasti kuberitahukan satu kafe yang terletak di salah satu mal ternama.
Restoran bintang lima barangkali pilihan romantis. Namun, ada hal lain yang ingin kukejar. Kepuasan batin! Aku ingin tahu rasanya makan di kafe impianku. Maklum, akibat hidup miskin di kehidupan pertama.
Mau kuceritakan pengalaman hidupku? Oh harus mau, aku memaksa. Hihihi.
Dulu aku tinggal di salah satu desa. Bila kemarau tiba, pasti air di sumur akan mengering, begitupula sungai, kanal, dan sejumlah irigasi. Hanya sumur tertentu saja, sumur tradisional dan sumur peninggalan masa penjajahan Belanda, yang masih berfungsi.
Bisa dibayangkan, ‘kan, betapa sukar desa tersebut. Jangankan bermimpi bisa makan di KFC atau restoran cepat saji lainnya, membeli sebungkus nasi saja harus kupertimbangkan.
Ke kota? Wah aku hanya bisa ke sana ketika aku diajak oleh teman sedesa. Yah berhubung dunia ini dipenuhi oleh manusia pemuja penampilan fisik dan status, maka bisa dihitung jari siapa yang bersedia mengajakku bersenang-senang.
Ada satu orang cewek, sebut saja namanya Bunga. Nah dia merupakan anak guru yang paling kaya dan makmur. Tidak mungkin ada cowok yang ogah dengannya. Semua pasti mau! Rela! Masalahnya kepribadian Bunga tidak seindah namanya, menurutku sih. Bila dia mengajakku naik motor ke kota, maka ia akan berkata, “Jangan pakai baju itu. Berlebihan.” Padahal aku hanya mengenakan celana jins murahan, kaos seharga 35 ribu yang dijual di toko pakaian bekas, dan jaket yang warnanya mulai luntur. Bagian mana dari penampilanku yang berlebihan?
Berhubung aku ingin melihat mal, maka segeralah kuganti pakaian dengan celana usang (yang dipilih Bunga). Celananya yaaaa sebenarnya “nggak banget”. Jelek! Kaos pun harus yang Bunga pilih. Apalagi jaket!
Tidak berhenti di situ, selama di mal Bunga tidak peduli aku punya uang atau tidak. Dia sibuk memilih sandal yang harganya lebih dari seratus ribu. Terus begitu saja, sementara aku menahan haus dan lapar. Kantong kosong, tidak ada uang sama sekali. Ternyata sekadar cuci mata tidaklah cukup. Aku butuh makan dan minum! Anak sepertiku yang sering tidak dapat uang saku mana bisa mengikuti gaya hidup Bunga yang motornya saja ada empat, baru, kredit!
Kebetulan ada kafe di dekat toko sepatu dan sandal yang Bunga pilih. Di etalase berjejer aneka egg roll, cup cake, kue cokelat, dan bahkan pie. Saat itu adegan bocah pengemis yang hanya bisa mengagumi roti di etalase langsung tergambar di benakku. Betapa inginnya aku menghampiri pramuniaga, meminta saran kue terenak, dan makan!
Akan tetapi, bayangan tinggal bayangan. Aku si punguk yang merindukan bulan. Hanya bisa memendam perasaan saja. Dalam hati aku berjanji, nanti ketika punya pekerjaan dan dapat gaji akan kumanjakan diriku dengan kue!
Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Aku keburu mati dan pindah di sini. Hehehe ironis.
Oleh karena itu, tawaran Ivan takkan kusia-siakan. Harus! Begitu malam menjelang, aku memilih mengenakan dress berlengan panjang yang bawahannya sepanjang betis. Motif kainnya pun berupa bunga forget-me-not di atas latar putih. Ada tali biru yang menghias pergelangan tangan. Sangat manis.
Sepatu yang kupilih ialah, sepatu bersol datar. Putih dengan hiasan sulaman kupu-kupu biru. Rambutku yang panjangnya sebahu kubiarkan tergerai bebas dan hanya ditemani bandana putih.
Jangan lupa pelembap! Bibir pun perlu sapuan liptint warna ceri. Oh aku manis dan menawan! Kenapa juga aku tidak coba bekerja sebagai artis film, seperti Ella Soraya?
Totebag warna krem kuisi dengan ponsel, dompet (yang isinya tidak seberapa), dan sebuah buku. Aku perlu membentengi diriku dengan hiburan.
Turun ke lantai satu, aku hampir saja terpeleset karena takjub mengamati Ivan. Dia mengenakan jins hitam, atasan berkerah turtle neck, dan rambutnya tidak ditata ala budak kantoran! Wow dia bisa menjadi aktor Korea dan kujamin sanggup memancing penggemar sinting.
“Ayo,” ajaknya sembari menampilkan senyum termanis.
Tanpa sadar aku langsung melayang, eh berjalan, menuju ke arahnya. Kuraih tangan Ivan dan menggenggamnya. “Kamu nanti jangan genit ke cewek mana pun, ya? Hihihi.”
Genit pun tidak masalah. Pokoknya uang ganti rugi sakit hatiku harus memiliki jumlah angka nol yang banyak setelah angka dua atau tiga.
“Aku nggak mungkin bersikap kurang ajar seperti itu, Na.”
Hmmm belum saja, kataku kepada diri sendiri.
***
Sesuai dugaanku, penampilan Ivan sukses menarik perhatian, terutama cewek. Sekalipun dia cuek dan hanya fokus kepadaku, tetap saja gelitik keingintahuan dalam diriku makin menjadi. Seberapa besar kontrol Ivan dalam novel hingga dia hanya setia kepada Ella?
Eh? Tunggu dulu! Dalam novel tidak ada penjelasan mengenai kedekatan Hana dan Ivan dalam hal romantisme. Mereka sekadar bertemu di rumah dan tidak melakukan apa pun seperti halnya pasangan suami-istri. Lantas mengapa dia berinisiatif mengajakku makan malam bersama?
“Kamu suka duduk di dekatku, ‘kan?” tanya Ivan sembari mendekatkan kursinya kepadaku yang kini sudah duduk. “Agar kamu nggak perlu teriak ketika kita bicara.”
‘Mas yang satu ini damage-nya mengerikan.’
Kami memilih meja yang dekat dengan piano. Pelayan menyebutkan sejumlah menu dan aku memilih ayam pedas manis, pai apel dengan es krim vanila, jus stroberi, dan ... hmmm bolehkah tambah kue cokelat? Ivan memilih steak sapi, kentang tumbuk, dan secangkir kopi.
Selama menunggu pesanan, aku dan Ivan mulai berbincang. Tepatnya, dia yang memulai.
“Kamu terlihat manis,” pujinya dengan senyum yang terpulas di bibir. Basa-basi atau apa pun, aku tidak peduli. Caranya bicara membuat jantungku berdebar kencang. Rasanya rongga dadaku akan retak karena degup tersebut.
Ekor mataku menangkap sosok para cewek yang duduk tidak jauh dari meja kami. Mereka jelas menaruh minat terhadap suamiku. Terlihat dari cara mereka melirik Ivan, kemudian sepertinya ingin mencabut kepalaku. Hei, mengapa cewek di dunia novel ini anarkis dan barbar dalam berbagai level?
“Terima kasih,” balasku, lirih. Rona merah pasti telah mekar di pipi dan telingaku. Mengapa udara terasa panas? Padahal kami sedang berada di dalam ruangan.
Dalam hati aku berdoa semoga pikiran dan jiwaku masih utuh, tidak teracuni keinginan seperti: ingin menggigit Ivan, ingin mengecup pipi Ivan, atau....
“Ada tempat lain yang ingin kamu kujungi?”
... atau aku bisa menyuruh otakku berpikir waras!
“Hmmm,” gumamku sembari mengalihkan pandang ke jemariku, “apa kamu mau menemaniku mencari bahan bacaan? Kebetulan aku butuh beberapa buku sih.”
Aku tidak berani bilang, butuh buku xxx. Ya, kan, jiwaku perlu hiburan. Siapa pula yang baca buku anatomi tubuh, politik dan pengaruh sosial sebagai hiburan? Kecuali, orang tertentu.
Ih kenapa jantungku masih jumpalitan sih! Tidak sopan!
***
Selesai ditulis pada 4 Agustus 2023.***
Semoga kalian sukaaaaa!Saya akan fokus ke dua cerita, yang utama sih ini. Yang lain akan saya tulis secara perlahan. Hehehehe. Terima kasih.
Jangan lupa jaga kesehatan, ya?
Salam cinta dan kasih sayaaaang!
I love you, teman-temaaaaan!
KAMU SEDANG MEMBACA
GENRENYA SALAH! (Tamat)
RomanceSuamiku merupakan male lead dalam novel dewasa yang level kebenciannya patut dipertanyakan. Dia mapan, tampan, berkarisma, dan apa pun yang semua cewek inginkan ada dalam dirinya. Sekalipun pernikahan yang kujalani hanya hitam di atas putih, tidak a...