Satu bulan setelah proyek yang tidak bisa kuhadiri pestanya, Adriana mengabariku sesuatu. Dia akan menggelar jumpa fans di salah satu kafe buku. Novel terbarunya yang bercerita mengenai penderitaan cinta laris manis di pasaran. Konon sampai ada rumah produksi yang melamar menjadikan novel tersebut sebagai film.
Sebagai teman aku pasti senang mendengar kabar keberhasilan Adriana. Dia hebat. Masih muda, mahasiswi, tapi berhasil menciptakan karya yang diakui oleh masyarakat.
Oleh karena itu, begitu menerima kabar mengenai jumpa fans itu ... aku pun berjanji akan datang.
Demi menyenangkan diri sendiri, aku pun semangat berdandan. Rok putih sepanjang lutut, atasan kemeja biru laut berlengan pendek yang pada bagian kerahnya dihias sulaman bunga melati, tas selempang warna krem, dan sepatu tali berwarna cokelat tanah.
Oh aku meniru gaya rambut Kikyo. Gaya rambutnya saja, bukan nasibnya. Pita sutra berwarna putih yang dibordir desain kupu-kupu. Anting berbentuk hati, gelang bintang dan bulan, lalu aku pun mematut diri di cermin.
Sempurna!
Sopir mengantarku menuju kafe buku. Kami tiba pada pukul sebelas siang. Di kafe ramai oleh pengunjung yang didominasi remaja, terutama cewek. Adriana terlihat ceria. Dia mengenakan kemeja berpita yang dipadu dengan rok lipit warna cerah. Duduk di hadapan pembaca, ia bercerita mengenai proses pembuatan naskah hingga tamat. Satu dua kali dia tertawa ketika pembawa acara bertanya mengenai kehidupan pribadi yang mungkin disuntikkan Adriana ke dalam cerita.
“Kehidupan cintaku bahkan lebih hambar daripada novel,” Adriana menjelaskan, masih dengan senyum mengembang.
Itu artinya, Adriana jomlo! Dasar tukang kibul!
Aku tidak sanggup berjejalan dengan penggemar Adriana. Maka, kuputuskan melenggang di bagian penjualan buku. Ada beberapa novel yang ditulis oleh Adriana. Dulu aku jelas tidak mampu membeli buku-buku yang harga sebijinya saja bisa mencapai tujuh puluh ribu. Sekarang?
Hehehe borong dong.
Kuambil semua novel yang ditulis oleh Adriana dan itu belum termasuk beberapa buku komik dan puisi. Aku menuju kasir dan menyerahkan kartu pemberian Ivan. Kartu belanja! Kartu kemerdekaan! Kartu kebahagiaan! Suamiku memang hebat!
Setelahnya aku menunggu Adriana di meja yang tidak terlalu jauh dari tempat Adriana. Yah setidaknya dia tahu aku sudah datang dan memberinya sokongan secara finansial dan moral! Aku memang luar biasa manisnya. Huhuhu Ivan pasti akan memuji kebaikanku. Aih jadi kangen. Kangen Ivan.
Lima belas menit kemudian Adriana selesai melakukan bedah buku atau apa pun itu. Dia juga melayani tanda tangan dan ... foto?
“Terima kasih, ya,” kata Adriana ketika menghampiriku. “Datang! Kamu memang yang terbaik.”
Aku telah memesan spageti, puding karamel, sebotol air mineral, dan secangkir teh hangat. Spageti telah kutandaskan dan kini aku bersiap memburu puding.
“Kasih tanda tangan juga dong,” kataku sembari menunjuk tumpukan buku di meja—novel-novel Adriana. “Kan aku memberimu cinta serta kasih sayang.”
Adriana terbahak melihatku bersungguh-sungguh membeli semua novelnya. Total ada sekitar enam judul. Hmmm suamiku, kan, kaya. Dia justru senang kalau aku belanja. Hehehehe.
“Sayang sekali kamu nggak bisa datang di pemutaran perdana waktu itu.” Adriana melepas segel buku. Dia meraih bolpoin berhias kepala kucing hitam dan mulai bekerja. “Vera mirip cacing kepanasan. Ada saja yang ia incar. Padahal dia penulis skenario, notabene ketemu artis itu hal lumrah. Biasa. Nggak seperti kita. Eh tolong pesankan makan dan minum dong.”
KAMU SEDANG MEMBACA
GENRENYA SALAH! (Tamat)
RomantizmSuamiku merupakan male lead dalam novel dewasa yang level kebenciannya patut dipertanyakan. Dia mapan, tampan, berkarisma, dan apa pun yang semua cewek inginkan ada dalam dirinya. Sekalipun pernikahan yang kujalani hanya hitam di atas putih, tidak a...