Kontrak kerjaku dengan Melon sudah berakhir dengan penyerahan episode bonus yang berhasil kuselesaikan. Kepopuleran Milo makin meroket, menduduki peringkat utama dan mengalahkan komik lainnya.
Kupikir cerita Milo akan kalah saing karena mengangkat unsur slice of life dari sudut pandang si kucing. Komik buatanku tidak seperti si kucing karangan Soseki yang bisa memberikan pandangan filsafat dan ilmu humanisme. Menurutku sih ... Milo sangat absurd. Anehnya, dia banyak yang mencintai. Barangkali selera manusia di dunia Hana memang lebih kompleks daripada tempatku berasal.
Pihak Melon meluncurkan berbagai barang yang berhubungan dengan Milo. Bantal, boneka, gantungan kunci, kaos, buku tulis, bahkan tas. Semua itu mulai diluncurkan di pasaran. Tidak jarang setiap kali aku berkunjung ke mini market, akan kutemukan Milo dalam versi “produk kapitalis”.
Artinya, rekening milikku makin gemuk!
Ada gula, ada semut. Editorku dan beberapa editor yang bernaung di bawah Melon, menawarkan kemitraan ... haha ... andai aku hendak menulis cerita baru. Daripada bekerja dengan orang baru yang tabiatnya mungkin takkan kusukai, bekerja sama dengan editor lamaku merupakan pilihan bijak. Kujawab saja: “Nanti akan aku kabari. Tolong izinkan aku mencari ide baru. Oke?”
Oleh karena itu, aku pun menghabiskan waktu seharian dengan cara jalan-jalan. Pertama ke kafe, lalu ke taman bermain yang dikuasai oleh klub cosplay, lantas karena putus asa aku pun menghubungi Ivan.
Sekarang aku termangu di dalam mobil, menyuruh sopir parkir di pinggir jalan, dan sedang mendengar saran Ivan melalui panggilan telepon.
“Kamu bisa mengunjungi butik,” Ivan menyarankan. “Akan kukirim alamatnya ke ponselmu.”
Keningku berkerut. Dari sekian saran, mengunjungi butik sepertinya menjadi opsi unggulan suamiku. “Kenapa? Kan di sana orang hanya belanja baju.”
“Beli saja barang yang kamu inginkan. Pemilik butiknya kenalanku, jadi kamu nggak perlu tanya total belanjaan.”
“Langsung kamu bayar? Begitu? Nggak ah. Ada banyak pakaian yang kemarin kamu belikan. Belum semua kucoba. Mubazir!”
“...”
“Aku boleh main ke kantormu, enggak?” tanyaku dengan nada manja. “Bosan, Ivan.”
“Oke.”
Hihihi akhirnya aku tahu rasanya mengunjungi suami yang sedang kerja. Barangkali aku perlu membawa makanan dan minuman? Atau aku tawarkan diriku saja sebagai menu utama wahahahahaha!
Ih bodohnya aku. Ivan, kan, tidak pernah tertarik mengunyahku.
Sialan!
***
Tidak ada apa pun yang kubawa selain diriku sendiri. Awalnya aku berencana menemui Ivan di kantor, tetapi Ivan mengganti acara. Berhubung kedatanganku mendekati waktu makan siang, ia pun menyarankan pergi ke salah satu restoran.
Ivan sudah datang sebelum aku. Dia mengenakan setelan kerja, membuatku ingin melakukan tarian sorak-sorai bergembira! Lihat lingkar pinggangnya! Lihat jemarinya! Lihat kesempurnaan ituuuu!
“Hana, ayo.”
Ivan menggandengku, membuyarkan lamunan tidak masuk akal yang berseliweran di kepalaku.
Begitu masuk ke restoran, pelayan menawarkan beberapa menu andalan. Aku meminta Ivan memilihkan makanan dan minuman. Tidak perlu menunggu lama, pesanan kami pun tiba.
Belum sempat Ivan menyantap hidangannya, tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja kami dan mengabarkan sesuatu kepada Ivan.
“Hana, kamu makan duluan saja, ya? Ada hal yang perlu kuselesaikan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
GENRENYA SALAH! (Tamat)
RomanceSuamiku merupakan male lead dalam novel dewasa yang level kebenciannya patut dipertanyakan. Dia mapan, tampan, berkarisma, dan apa pun yang semua cewek inginkan ada dalam dirinya. Sekalipun pernikahan yang kujalani hanya hitam di atas putih, tidak a...