07 - Di jam 16:30

32 3 1
                                    

"Pliss, maafin gue!" Eksha memelas. Dengan posisi masih sama tertunduk menangkupkan kedua tangannya sejajar dahi dengan memejamkan kedua matanya.

Lelaki itu hanya tersenyum miring kemudian "Eemmm..." ia menggoseng kepala Eksha dengan geram. "Kecil-kecil tapi tulang lu gede juga,ya. Hampir bikin remuk badan gue."

Suara lelaki itu terasa tak asing lagi bagi Eksha. Dengan perlahan ia membuka kedua matanya."Oo si Jalaluddin." Eksha kembali menendang pinggangnya ketika mengetahui lelaki itu adalah Abiyya sahabatnya sendiri.

"Iish, sakit sha, malah ditambahin. Ga sekalian lu hajar kepala gue pake batu." Keluh Abi memegang pinggangnya. "Lagian lu kemana aja sih, sha? tumben telat,"

"Gue kesi- " Belum sempat melanjutkkan, namun tiba-tiba Abi tertawa.

"Aha' ahaha haha," lelaki itu tertawa sebab melihat kaki Eksha memakai kaos kaki yang berbeda dikarenakan terbaru-buru.

"Anjir lu mau kemana, sha? yang kanan warna putih yang satunya hitam. Ahaha perut gue sakit anjir, kayak mau sirkus aja lu. Ahahhahah,hahaha," Abiyya terus saja tertawa tak tertahan sembari memegang perutnya.

"Terossss, terooss, ketawa yang kenceng. Lama-lama ni kerikil gue masukin juga ke mulut, lo." Kesal gadis itu seraya menggenggam penuh kerikil yang telah dipersiapkan.

Abi yang tak henti tertawa tiba-tiba segera mingkem bukan karena kerikil yang berada digenggaman Eksha, melainkan saat mendengar suara langkah kaki. Dengan perasaan tak enak Abi berdiri mencoba menarik tangan gadis itu sebagai isyarat jika harus segera pergi sebelum ada orang yang melihatnya. Hendak berlari mengikuti Abi, eksha masih menyempatkan mengambil tasnya yang cukup jauh dari jangkauannya itu. Karena kurang gercep akhirnya tertangkap basah oleh pak Budi.

Abi yang terus berlari menoleh kebelakang, namun sepertinya Eksha tertinggal "Argh tu anak."

"Em em, mau kemana? tanya pak Budi sebelum Eksha melarikan diri. Pria berumur empat puluh lima sebagai guru konseling. terlihat sangat garang apalagi ketika melihat murid yang tidak disiplin.

"Pak Budi. Halo pak selamat pagi?" sapa Eksha dengan cengengesan. "Sebelum menjelaskan kenapa saya ada disini, izinkan saya ber pantun terlebih dahulu.

"Meloncati pagar jumpa pak Budi,
Tak lupa pulangnya membeli gorengan.
Tolong maafkan saya bapak Budi,
Karena saya bangunnya kesiangan."

Dengan raut wajah memelas gadis itu berharap jika dimaafkan, meski rasanya tak akan mudah dilihat dari caranya meloncati pagar yang hanya bisa dilakukan oleh siswa yang nakal, apa lagi ini seorang gadis. Namun, guru tersebut merasa sedikit iba kapadanya. Mungkin karena ini pertama kali Eksha melakukannya.

"Tapi tidak harus dengan cara seperti ini. Kamu meloncati dinding pagar dengan begitu tinggi. Kalau kamu jatuh sampai terluka parah bisa bahagia."

"Hah," Eksha yang semula tertunduk jadi mendongak .

"BAHAYA!" Jelas pak Budi prihal mulut typonya itu.

"Ma-maafkan saya pak. Duh, jangan hukum saya dong pak. Ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan, loh." melas gadis itu dengan muka sedihnya.

"KAMU MEROKOK YA, dasar gadis nakal." Cetus pak Budi setelah melihat satu puntung rokok tepat dibawah kaki, Eksha.

Dengan tatapan menelisik, tak mudah bagi pria itu untuk mempercayainya. Ditambah hanya ada gadis itu seorang diri dengan satu puntung rokok yang telah mati, namun masih berasap seperti baru saja dimatikan.

"Hah, ngga Pak. Serius ini bukan milik saya. Suwer, demi konsonan langit dan bumi yang akan menjadi sebuah takdir menjadikan hamparan bahwa saksi ini detik ini secara sinaran ultrasfeng yang mulai di aungi oleh green day akan menjadi crenbe-"

The Queen LosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang