Bab 5

1.3K 68 6
                                    

"Ada apa ini, kok semuanya pada tegang?" Tanya Pak Soleh penasaran dengan raut wajah para jemaah yang silih berganti menatapnya penuh ketakutan.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Kami hanya kedinginan saja." Jawab Pak Parta sembari menganggukkan kepala kepada Pak Usman, memberi kode agar tutup mulut. Pak Usman hanya mengernyit. Mencoba memahami apa maksud dari kode tersebut.

Pak Soleh memandang penuh ragu. Dalam benaknya penuh dengan pertanyaan, namun ia memilih diam, kemudian mengambil posisi duduk di dekat Popon. Pemuda berkulit sawo matang itu hanya tersenyum kecut, dalam remang cahaya lilin. Seluruh tubuhnya bergemetar, sesekali ia melirik ke arah Pak Soleh, kemudian kembali memandang ke arah lilin.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Pon. Kenapa semua orang terlihat ketakutan saat melihat saya tadi?" Tanya Pak Soleh dengan nada lirih.

Popon meneguk saliva. Ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Pak Soleh. Tentu saja Pak Soleh merasa kecewa dengan jawaban Popon. Ia mengembus napas panjang, membenarkan posisi duduknya, dan mencoba berbaur dengan jemaah lain.

"Sepertinya sudah waktunya azan. Mas Ahmad, apa Mas bersedia untuk azan?" Ucap Pak Parta pada Ahmad. Pria tua itu berusaha mencairkan suasana.

"Ya, Pak. Saya bersedia." Jawab Ahmad dengan lantang.

"Yud, pukul beduknya!" Titah Pak Parta.

"Saya, Pak?" Tanya Yudi sambil menunjuk ke diri sendiri.

"Ya, siapa lagi." Tukas Pak parta.

Dengan wajah murung, Yudi segera beranjak menuju beduk yang letaknya di samping pintu masuk mushola. Sebenarnya, sedari tadi ia menahan rasa takut. Bulu kuduknya meremang sejak kedatangan Pak Soleh. Kedua bola matanya tak berhenti melirik ke kanan ke kiri. Di luar tampak gelap. Cahaya remang lilin hanya terlihat terang di dalam mushola. Sementara dari luar, mushola tampak gelap gulita.

"Kenapa harus saya, kan bisa orang lain. Pak Parta menyebalkan!" Gerutu Yudi.

BRAK!

"Eh, buset! Maap! Maap! Ulun kada sengaja! Maap!" Teriak Yudi yang terkejut sampai meloncat memeluk daun pintu, saat mendengar suara benda jatuh.

"Ada apa, Yud?" Tiba-tiba Pak Soleh muncul dari belakang.

"I-tu ... Pak. Sepertinya ada yang jatuh di sana," tunjuk Yudi ke arah luar mushola.

"Coba kamu lihat, biar saya yang mukul beduk." Perintah Pak Soleh. Lagi, wajahnya terlihat datar.

"Kenapa harus ulun ni," gumam Yudi.

"Kalau kada pian, siapa ha lagi." Balas Pak Soleh.

Tubuh Yudi bergemetar hebat. "Sejak kapan, Pak Soleh bisa mengerti bahasa daerahku?" Yudi menunduk. Namun, kembali menoleh, ia dikejutkan dengan penampakan wujud Pak Soleh yang tiba-tiba saja berubah menjadi seram. Kedua matanya merah menyala, mulutnya menyeringai penuh darah.

"Demiiit!" Yudi lari tunggang langgang, tanpa peduli dengan kondisi mushola yang gelap.

Bruk!

Yudi terkapar, kepalanya terbentur tiang. Ia langsung tak sadarkan diri. Mendengar suara gaduh, Pak Heru, Pak Usman dan juga Ahmad segera berlari menuju teras.

"Astaghfirullahaladzim, Yudi!" Pekik Pak Usman.

Pak Usman bergegas membopong tubuh Yudi, Pak Heru dan Ahmad pun ikut membantu, membawa tubuh Yudi ke dalam. Para jemaah mulai khawatir. Tak bisa dipungkiri lagi, mereka benar-benar ketakutan.

"Ada apa ini," lirih Pak Usman. Ia mengembus napas panjang sambil melihat Yudi. Pak Usman merasa sedih melihat kondisi Yudi. Wajah pemuda yang baru tiga bulan menetap di desa Giung Agung itu, terlihat pucat. Pak Usman begitu gelisah, ia menduga jika Yudi telah melihat sesuatu yang membuatnya mendadak pingsan.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang