Bab 43

1.1K 51 9
                                    

Keduanya beradu pandang. Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang cukup keras. Ahmad menyeka air di ujung mata, sementara Ilham terlihat cekikikan sambil memegangi perut.

"Kenapa kalian tertawa, tidak ada yang lucu di sini." Tegur Amara.

"Ada, Ra. Ada." Sahut Ahmad. "Aku melihat mayat kembali hidup di sini. Yang seharusnya mereka sudah berada di alam lain, justru sekarang sedang berbicara denganku. Itu lucu sekali, bukan?"

Amara terdiam. Ia sama sekali tak mengerti ucapan Ahmad. Mayat? Siapa yang dimaksud mayat?

"Semua yang kamu alami hanya ilusi, Mad. Adiba, Inah dan yang lain, hanyalah sosok yang kamu ciptakan sendiri. Semua semu, ibarat kata hanya dongeng." Kata Kiai Sobirin.

"Kalau memang yang Panjenengan ucapkan itu benar, lantas dari mana Panjenengan tahu, jika di sana ada Adiba, Mak Inah, dan juga yang lain? Bukankah saya belum bicara apa pun?" Ahmad mengulas senyum manis, sedetik kemudian senyum itu memudar.

Seketika, wajah Kiai Sobirin memucat. Entah beliau terlupa, atau keceplosan. Lelaki tua itu, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembusnya pelan.

"Mad, Ham, saya hanya membantu kalian keluar dari masalah ini. Saya akan berusaha semampu saja untuk-

"Membantu, atau justru menjerumuskan, Pak?" Potong Ahmad.

"Saya niat membantu, Mad. Saya ju-

"Bohong!" Teriak Ahmad sambil menggebrak meja. Semua yang hadir terkejut, melihat sikap Ahmad. Pemuda yang dikenal baik, santun, justru memperlihatkan sikap yang tidak baik di depan sang kiai.

"Mas! Jangan kurang ajar kamu!" Bentak Amara. Sementara Pak Hadi, Hasiah, dan Ilham sedang melongo berjamaah, melihat tingkah Ahmad barusan. Terlebih Ilham, dengan mulut sedikit terbuka, tanpa kedip ia memandang teman sekamarnya itu penuh kejut.

"Diam! Aku bilang diam! Gadis kecil!" Seru Ahmad.

Amara menatap tajam, ia tak terima dipanggil gadis kecil.

"Sudah, Nduk. Lebih baik kamu diam, ini urusan abah dengan mereka. Kamu masuk kamar ya," ucap Kiai Sobirin kepada anak perempuannya. Amara langsung bergerak cepat, masuk ke dalam ruangan lain.

"Seenaknya saja memanggilku gadis kecil, memangnya dia sudah dewasa? Sikapnya saja melebihi anak kecil," gerutu Amara.

"Sekarang, apalagi yang akan Panjenengan katakan, Pak Kiai. Saya rasa, sudah cukup basa-basinya. Saya menunggu kejelasan yang pasti." Ujar Ahmad kembali ke posisi duduknya.

"Begini, Mad. Bukan maksud saya untuk membohongi atau mempermainkanmu. Ki Alif, adalah rival saya. Sampai sekarang keberadaannya masih misteri. Berita kematian yang kami dengar, hanya sebatas kabar burung. Saya ingin memastikan, apakah beliau masih hidup atau tidak. Saya akui, cara saya salah. Sudah melibatkanmu dan juga Ilham. Saya mau meminta-

"Minta maafnya nanti saja, Pak. Saya menunggu, jawaban. Apa tujuan Panjenengan sebenarnya," potong Ahmad.

"Mad, dengarkan dulu. Jangan asal memotong pembicaraan," sahut Ilham.

"Kamu diam saja, Ham." Kata Ahmad dengan ekspresi geram.

Pak Hadi dan Hasiah masih saja berdiam diri duduk di tempatnya masing-masing. Bapak dan anak itu, merasa tak punya wewenang apa-apa untuk ikut campur. Tugas mereka hanyalah mengantar pulang, tak lebih dari itu.

"Sepertinya kalian semua lelah. Pak Hadi, Nduk Siah, masuklah. Amara sudah mempersiapkan kamar untuk kalian, dan kamu Ilham, bisa kembali ke kamarmu. Saya ingin bicara empat mata dengan Ahmad." Ujar sang kiai mengalihkan pembicaraan.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang